Minggu, 15 September 2013

Akhlak Dalam Sejarah Falsafat Islam

Mata Kuliah    : Pendidikan agama Islam
Kelas               : Manajemen A3
Semester          : 1 (Ganjil)
Tugas               : Makalah MID

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN AKHLAK DALAM SEJARAH FILSAFAT ISLAM

Oleh:
                                                ILMAWATI
                                                NIM. 1211557


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2012


I. PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filsafat akhlak adalah satu bidang ilmu yang baru tersusun dan berdiri secara mandiri. Usianya tidak lebih dari satu abad. Banyak pemikir yang meyakini bahwa ilmu ini mulai diperkenalkan dengan terbitnya Principia Ethica, karya george Edward Moore pada tahun 1903 M. Tentunya, ada pembahasan-pembahasan filsafat akhlak yang dibahsa oleh pemikir-pemikir sebelum Moore di dalam karya-karya akhlak dan falsafi mereka secara acak dan seporadis. Bahkan, berdasarkan data-data akurat sejarah, bidang yang paling menyita keseriusan kalangan filsuf dan pemikir adalah akhlak dan isu-isu nya.
Demikian pula di alam pemikiran islam. Pembahasan-pembahasan filsafat akhlak tidak pernah membentuk menjadi satu disiplin ilmu secara utuh. Bahkan, tidak ada satu karya atau risalah pun yang ditulis dengan nama ini dikalangan ulama-ulama terdahulu. Demikian ini tidak berarti mereka tidak pernah membahas permasalahan-permasalahan filsafat akhlak di sela-sela penelitian falsafi dan teologis. Bahkan banyak ditemukan subjek-subjek penting filsafat akhlak yang dikaji oleh ulama dan filsuf muslim di dalam karya-karya falsafi, teologis, usul fikih. Kajian-kajian itu terus berkembang dan menjadi rangkaian persoalan-persoalan filsafat akhlak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Persoalan-persoalan seperti Husn wa qubh dzati yang diperdebatkan secara sengit oleh ulama-ulama teolog As'ariyah, Mu'tazilah dan Syiah, serta dikaji secara terperinci dalam literature falsafi, teologuis, bahkan juga dalam usul fikih belakangan ini. Persoalan akal teoritis dan akal praktis yang dibuka dalam psikologi falsafi, persoalan I'tibariyat dalam filsafat prima dan usul fikih, persoalan semantika dan pertentangan antarinferensi (ta'arudul adillah) dalam usul fikih, persolan masyhurat dan proposisi-proposisi moral dalam teologi dan usul fikih, semua itu berkaitan erat dengan filsafat akhlak. Berbagai teori dan pendapat ulama seputar persoalan-persoalan itu turut mempercepat kelahiran ilmu ini. Kendati demikian, mereka tidak bermaksud untuk menyusun satu bidang ilmu di balik kajian-kajiannya, sehingga terjadi ketimpangan dan inkonsistensi dalam pandangan-pandangan mereka. Berdasarkan hal-hal itulah, makalah ini akan membahas mengenai perkembangan filsafat akhlak dalam sejarah filsafat Islam.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini akan dijabarkan dalam beberapa poin-poin penting berikut:
1.      Bagaimana pandangan mutakallimin tentang akhlak?
2.      Bagaimana pandangan sufi tentang akhlak?
3.      Bagaimana pandangan filsuf muslim tentang akhlak?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui pandangan mutakallimin tentang akhlak.
2.      Mengetahui pandangan sufi tentang akhlak.
3.      Mengetahui pandangan filsuf muslim tentang akhlak.

II. PEMBAHASAN
A.    Padangan Mutakallimin tentang Akhlak
Setiap orang wajib mengetahui Tuhannya. Mengenai sejauh mana dia mengetahui, dan dengan cara apa dia mencapai pengetahuan itu, hal itu masih terdapat tahapan-tahapan tertentu. Menurut Imam al-Ghazali, tingkat iman itu ada tiga: Imannya orang awam, imannya al-mutakallimîn (teolog), dan imannya al-‘ârifîn (orang-orang yang makrifat). Imannya orang awam adalah iman taklid, mereka beriman karena terpengaruh oleh kepercayaan yang tertanam di lingkungan sosialnya, atau karena mengikuti tokoh- tokoh yang ia yakini kepastiannya. Sedangkan imannya al-mutakallimîn adalah kepercayaan yang disertai dalil nalar[[1]]. Dari definisi al gazali tadi, dapat kita simpulkan bahwa golongan mutakallimin dalam menelaah sebuah obyek menggunakan nalar nya sebagai senjata, Namun tidak menyampingkan iman meraka. Hal ini juga yang digunakan mutakallimin dalam memahami apa itu akhlak.

1.      Definisi Akhlak Menurut Mutakallimin

Secara istilah di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai pengertian akhlak. Ibn Miskawaih, seorang tokoh filsafat etika, mengatakan bahwa akhlak adalah ”hal li an-nafs da’iyah laha ila af’aliha min ghair fikr wa la ruwiyyah” (keadaan atau kondisi jiwa yang mendorong manusia berbuat tanpa melalui proses pemikiran mendalam terlebih dahulu). Al-Jaziri merumuskan bahwa definisi akhlak adalah ”keadaan yang sudah tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara disengaja”. Sementara al-Ghazali membuat defini akhlak sebagai ”suatu kondisi yang tertanam pada jiwa yang daripadanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan fikiran (terlebih dulu)”.

Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa akhlak bukanlah merupakan perbuatan (lahir), melainkan suatu ”keadaan jiwa” dan karenanya bersifat abstrak. Meskipun demikian keadaan jiwa yang dimaksud tentu tidak dapat dilepaskan dengan perbuatan (lahir), sehingga keduanya harus tetap dipandang sebagai dua setali mata uang karena saling berhubungan: yang pertama sebagai sumber sedangkan yang kedua sebagai manifestasinya, atau kalau yang pertama sebagai asal maka yang kedua sebagai cabangnya. Oleh karena itu keduanya harus dilihat sebagai akhlak, meski dengan posisi yang berlainan; sebab, keadaan jiwa—sebagai akhlak—mesti akah mewujud ke dalam bentuk perbuatan, dan begitu pula suatu perbuatan mesti bersumber dari dorongan jiwa. Hanya saja harus tetap dikatakan bahwa yang asal, dalam pengertian akhlak, adalah kondisi jiwa dan kondisi jiwa itu akan mewujud ke dalam tingkah laku sebagai manifestasinya.

Merujuk kepada definisi di atas maka dapat dikatakan bahwa perbutan yang dapat disebut akhlak, atau meminjam istilah Murtadla Muthahhari sebagai perbuatan akhlak, harus memenuhi dua persyaratan: (1) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali, tentu dalam bentuk yang sama, sehingga keberadaannya menjadi sebuah kebiasaan; (2) Perbuatan itu dilakukan secara sengaja, didasarkan pada kehendak, bahkan kehendak yang kuat, atau yang diistilah dengan azimah. Karena itu perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja maka belum bisa dikatakan akhlak, sebagaimana perabuatan yang lahir karena reflek dan paksaan, maka juga tidak bisa dinamakan perbuatan akhlak.

2.      Ajaran Mutakallimin tentang Akhlak

Secara garis besar, golongan mutakallimin berpendapat bahwa perbuatan akhlak adalah segala perbuatan yang dilakukan untuk orang lain. Di sini berarti perbuatan akhlak didefinisikan dari sisi tujuan, yang dalam ilmu logika dikategorikan sebagai definisi melalui sebab-sebab eksternal yakni dari sebab akhir (final cause), sehingga perbuatan akhlak dirumuskan sebagai ”perbuatan yang tujuannya untuk orang lain”.[[2]] Oleh karena itu semua perbuatan yang hanya diperuntukkan untuk diri sang pelaku maka perbuatan itu tidak bisa dinamakan perbuatan akhlak, dan hanya perbuatan yang diperuntukkan untuk orang lain atau dengan kata lain tujuan dari perbuatan itu untuk orang lain, maka perbuatan itu adalah perbuatan akhlak. Jadi perbuatan akhlak dapat dirumuskan dengan ”perbuatan yang tujuannya untuk orang lain”.[[3]]

Selain definisi di atas ada rumusan lain dengan kriteria tertentu pula. Dalam konteks ini Immanuei Kant, seorang filosof Jerman terkemuka, menetapkan ”perasaan kewajiban intuitif” sebagai kriteria perbuatan akhlak.[[4]] Dengan demikian menurut Kant, setiap perbuatan yang dilakukan manusia dengan alasan mentaati perintah intuisi secara absolut, yakni ia melakukannya semata-mata karena intuisinya memerintahkannya, dan dia tidak mempunyai tujuan lain daripada perbuatannya itu, maka perbuatan sejenis itulah yang dinamakan perbuatan akhlak. Sehingga kalau ditanyakan kepada pelakunya, mengapa anda mengerjakan perbuatan itu?, dengan serta merta ia akan mengatakan, karena intuisiku memerintahkannya. Jadi, Kant memandang bahwa kriteria perbuatan akhlak adalah pelaksanaan kewajiban fitri intuitif, dengan syarat pelaksanaan kewajiban itu tanpa dilatari oleh sebuah tujuan tertentu, karena akhlak hanya ada dalam intuisi. Menurut Muthahhari, pandangan Kant ini ada sedikit benar bila dikaitkan dengan firman Allah dalam Qs. 91: 8 ”demi jiwa dan penyempurnaannya, maka Dia ilhamkan kepada jiwa itu jalan kebaikan dan jalan keburukan”. Dan ketika Qs. 5:2 turun, diriwayatkan seorang lelaki bernama Wabishah menghampiri nabi, yang kemudian ditebak nabi bahwa ia mau bertanya tentang kebaikan dan dosa. Setelah dibenarkan oleh Wabishah, selanjutnya nabi menjawab ”wahai Wabishah, mintalah jawaban dari hatimu”.[[5]]

B.     Padangan Sufi tentang Akhlak

Kata akhlak, yang berasal dari bahasa Arab, sebagai bentuk jamak (plural) dari khuluq, mempunyai arti bahasa budi pakerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[[6]] Sangat mirip dengan ini, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pakerti atau kelakuan. Berkaitan dengan hal ini, kemudian Barmawi Umari mengatakan bahwa asal kata akhlak adalah dari khilqun, yang mengandung segi-segi persesuaian dengan kata khaliq dan makhluq. Dari sinilah—lanjut Barmawi Umari—asal perumusan kata akhlak yang merupakan kumpulan (koleksi) anugerah Tuhan yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara makhkuk (manusia) dengan khalik (Tuhan), serta antara makhluk dengan sesama makhluk. Hal inilah yang menjadi landasan para sufi dalam mengamalkan perintah sang khalik melalui interaksi-interaksi kehidupan sosial dan spiritual.

1.      Definisi Akhlak Menurut Sufi

Berbeda dengan definisi sebelumnya, kaum sufi lebih melihat perbuatan akhlak dari sisi sumbernya yakni rasa cinta. Atas dasar ini dirumuskan bahwa perbuatan akhlak adalah ”segala perbuatan yang bermuara dari rasa mencintai sesama”.[[7]] Menurut pandangan ini, manusia memiliki sejumlah perasaan dalam jiwanya, dan jika akar perbuatan adalah perasaan mencintai sesama maka perbuatan itu dinamakan perbuatan akhlak. Dari segi simpulan, sebenarnya definisi ini sangat mirip, dan bahkan identik, dengan yang pertama, hanya saja kalau definisi yang pertama ditarik dari tujuan (ghayah), maka rumusan definisi yang kedua ini ditarik dari final causa; karena, perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk orang lain itu tidak akan pernah terwujud apabila manusia tidak memiliki perasaan cinta sesama. Dengan kata lain, dua pandangan tersebut sangat dekat dan mirip, karena segala perbuatan yang bersumber dari perasaan cinta sesama sudah tentu tujuannya adalah untuk orang lain.

Berangkat dari kelemahan yang inheren dalam rumusan definisi di atas, ada ahli yang kemudian menambahkan unsur bahwa perbuatan akhlak harus diusahakan—tidak semata-mata berdasarkan fitrah. Pandangan seperti ini berawal dari kasus mengenai fitrah seorang ibu dalam memelihata anaknya, dimana seluruh perbuatannya itu tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlak karena para ibu memiliki perasaan semacam itu bukan atas dasar kemauannya, melainkan fitrah dan aturan penciptaannya. Oleh karena itu kemudian ada yang merumuskan bahwa perbuatan akhlak adalah ”perbuatan yang tujuannya adalah orang lain atau bertolak dari perasaan mencintai orang lain dengan syarat keadaan tersebut diperoleh dari hasil usahanya sendiri, bukan alami”.[[8]] Dikatakan demikian karena semua orang memahami bahwa akhlak identik dengan usaha, sehingga perbuatan dikatakan akhlak kalau manusia berupaya untuk melakukannya; jadi akhlak berbeda dengan perbuatan alami, dimana jenis yang disebut terakhir ini tidak melibatkan usaha, tetapi perbuatan itu akarnya adalah perasaan alami.[[9]]

2.      Ajaran Kaum Sufi tentang Akhlak

Ajaran kaum sufi bersumber dari akhlak rabbani. Adapun yang dimaksudkan dengan istilah akhlak rabbani di sini adalah bahwa sistem atau ajaran akhlaknya dalam Islam bersumber dari wahyu ilahi yang termaktub di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; jadi bukan didasarkan pada hasil pemikiran dan kreativitas manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 1500 ayat yangmengandung ajara akhlak, baik yang teoritis maupun yang praktis. Jumlah 1500 ayat yang mengandung ajaran akhlak itu meliputi hampir seperempat kandungan al-Qur’an. Demikian pula dalam hadis-hadis nabi amat banyak jumlahnya yang memberikan pedoman akhlak. Dalam Islam, sifat rabbani dari akhlak, sebagaimana dikatakan oleh Yusuf al-Qardlawi, juga menyangkut tujuannya. Akhlak dan moralitas bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak, dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan alamnya.

Penegasan tentang ciri rabbani dalam akhlak islam itu mengandung makna pula bahwa akhlak islam bukan moral yang kondisional dan situasional, tetapi akhak yang benar-benar mempunyai nilai kebaikan mutlak. Akhlak rabbanilah yang mampu menghindari kekacauan nilai moralitas (nisbi) dalam hidup manusia. Al-Qur’an mengajarkan, ”inilah jalan-Ku yang lurus; hendaklah kamu mengakuinya; jangan kamu ikuti jalan-jalan lain, sehingga kamu bercerai-berai dari jalannya. Demikian diperintahkan kepadamu, agar kamu bertakwa” (Qs. 6: 163).

Meskipun sumber kaidah-kaidah moralitas (akhlak) dalam islam adalah wahyu, namun wahyu tidak pernah bertentangan dengan pendapat akal sehat. Yang diajarkan sebagai kebaikan dalam wahyu adalah kebaikan menurut akal dan yang diajarkan sebagai keburukan menurut wahyu adalah keburukan menurut akal. Jadi tidak mungkin ajaran wahyu bertentangan dengan akal.

Ada beberapa cara yang dianjurkan dalam Al­-Qur’an untuk memperbaiki akhlak seperti pada Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an (S. Al-Kahfi: 110) yang artinya
"Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh (memperbaiki akhlak) dan janganlah ia mempersekutukan apapun dalam beribadat kepada Tuhan (bersih dari segala kotoran hawa nafsu)"
Al-Ghazali di dalam kitabnya Kimyaus-Saadah menyatakan
"tujuan perbaikan akhlak ialah membersihkan qalbu dari kotoran hawa nafsu dan amarah hingga hati menjadi suci bersih bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan".
Sabar Firman Allah swt. dalam Al-Qur’an (S. Al-Baqarah: 45 - 46) yang artinya

"Jadikanlah sabar dan Salat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu adalah tugas berat kecuali bagi orang yang khusyu".

Orang - orang yang khusyu' itu ialah orang yang menyukai bahwa mereka itu akan bertemu dengan Allah dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya"

Menurut Al-Ghazali, 'Sabar' ialah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan oleh hawa nafsu, tetap pada pendirian agama yang bertentangan dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat"


C.    Padangan Filosof Muslim tentang Akhlak

Agama Islam pada intinya mengajak manusia untuk percaya kepada Tuhan dan mengakui bahwa Tuhan adalah segala-galanya. Dia-lah pencipta, pemilik, pemelihara, pelindung, pemberi rahmat, pengasih dan penyayang terhadap semua makhluk-Nya. Segala apa yang ada di dunia ini diatur oleh-Nya.

Ajaran Islam mengandung petunjuk, jalan hidup manusia yang paling sempurna yang dapat menuntun kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semuanya terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan prinsip-prinsip perbuatan.
Perhatian ajaran Islam terhadap pembinaan akhlak dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan kebaikan, berbuat adil, menyuruh berbuat baik dan mencegah melakukan kejahatan dan kemungkaran. Inilah yang menjadi teori para filosof muslim dalam menelaah makna sentral akhlak.

1.      Definisi Akhlak Menurut Filosof Muslim

Definisi akhlak menurut filosof muslim sama saja dengan pendapat mutakallim. Mereka sama-sama menonjolkan akal dalam berakhlak. Salah satu contoh lain dari filosof yang telah disebutkan di atas adalah Ibnu Hazm. Konsep akhlak menurut Ibn Hazm terangkum dalam kitab al-Akhlaq Wa as-Siyar fi Mudāwah al-Nafs. Aspek-aspek yang dikaji meliputi konsep akhlak, metode dalam mempertingkatkan akhlak terpuji dan pandangan beliau dalam menyatakan tentang penyakit akhlak dan rawatannya. Konsep akhlak yang dinyatakan oleh Ibn Hazm ialah akhlak dicipta, dibentuk dan disusun oleh Allah swt. Ibn Hazm telah mengetengahkan beberapa asas yang dianggap penting untuk membentuk akhlak terpuji dalam diri manusia, di antaranya ialah dengan menuntut ilmu, percintaan, persahabatan dan memberi nasihat. Kerusakan akhlak menurutnya merupakan sesuatu yang mudah dilakukan. Ia telah menyatakan beberapa penyakit akhlak yang dianggap sebagai asas kerusakan akhlak, yaitu menipu, cemburu dan bermegah-megahan.
Dalam pandangannya, akhlak merupakan sarana ukur keselamatan manusia dalam menghadapi dua aspek kehidupan, yaitu kebahagiaan dan kemalangan. Semua tergantung pada amal perbuatannya dan karakter yang melingkupinya. Orang yang bahagia adalah orang yang suka mengerjakan keutamaan dan ketaatan serta menjauh dari perbuatan tercela dan kemaksiatan. Kemudian orang yang celaka adalah sebaliknya.
2.      Ajaran Filosof Muslim tentang Akhlak

Lebih jauh lagi, para filosof islam pada umumnya menetapkan ”akal merdeka atau kemerdekaan akal” sebagai kriteria perbuatan akhlak.[[10]] Bila menunjuk pada perbuatan kategori dari dalam diri subjek, maka perbuatan akhlak termasuk perbuatan sadar yakni dilakukan atas dasar kehendak bebasnya, bukan perbuatan refleksi dan bukan pula perbuatan yang dilakukan saat subjek berada dalam kondisi tidak sadar.[[11]] Dan bila menunjuk pada perbuatan karena pengaruh pihak lain (orang luar), maka perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan akibat pengaruh orang lain (luar), sepanjang pengaruh itu masih memberikan peluang subjek untuk memilih perbuatan yang dikehendakinya.[[12]] Jadi, pengaruh itu tidak sampai berbentuk paksaan dan ancaman yang sama sekali tidak memberikan ruang kepada subjek hak untuk memilih secara bebas.

Pandangan semacam ini sesungguhnya dapat disederhanakan dengan ungkapan bahwa perbuatan akhlak atau etis adalah perbuatan sengaja, dilakukan dengan sadar atas pilihan bebas.[[13]] Tahu dan memilih ada dua kriteria dari kesengajaan, sehingga adanya kesadaran (pengetahuan) dan pilihan terhadap tindakan itu merupakan kriteria dari perbuatan etis. Oleh karena itu, perbuatan anak kecil yang belum tahu, tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlak atau etis.[[14]] Namun ada pendapat lain mengatakan bahwa ada karakteristik perbuatan akhlak: pertama, dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga menjadi suatu kebiasaan; kedua, perbuatan itu dilakukan karena kehendak dari dalam dirinya, bukan karena alami dan tekanan.

Dari sejumlah pandangan ini kemudian ada yang menyimpulkan bahwa perbuatan akhlak adalah ”perbuatan yang tujuannya untuk orang lain karena bertolak dari rasa cinta kepada orang lain itu dan didasarkan atas kehendak bebasnya, bukan alami dan bukan pula paksaan”.[[15]] Dengan demikian kalau kita mengacu teori klasifikasi perbuatan atas perbuatan oleh diri sendiri dan perbuatan oleh orang luar, maka perbuatan akhlak berada pada wilayah perbuatan oleh diri sendiri yakni perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri dalam situasi bebas, dan juga perbuatan atas pengaruh oleh orang lain sebatas pengaruh itu masih memberikan peluang subjek untuk memilih perbuatan yang dikehendaki—bukan karena ancaman dan paksaan yang tidak memberikan ruang subjek hak pilih secara bebas.[[16]]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata akhlak, yang berasal dari bahasa Arab, sebagai bentuk jamak (plural) dari khuluq, mempunyai arti bahasa budi pakerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sangat mirip dengan ini, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pakerti atau kelakuan. Berkaitan dengan hal ini, kemudian Barmawi Umari mengatakan bahwa asal kata akhlak adalah dari khilqun, yang mengandung segi-segi persesuaian dengan kata khaliq dan makhluq. Dari sinilah—lanjut Barmawi Umari—asal perumusan kata akhlak yang merupakan kumpulan (koleksi) anugerah Tuhan yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara makhkuk (manusia) dengan khalik (Tuhan), serta antara makhluk dengan sesama makhluk. Kata akhlak memang terambil dari bahasa Arab, namun kata seperti itu sekali-kali tidak pernah dapat ditemukan di dalam al-Qur’an. Yang bisa didapatkan dari al-Qur’an hanyalah bentuk tunggal atau mufrad kata tersebut yakni khuluq, yakni tercantum di dalam Qs. al-Qalam (68) ayat 4: “wa innaka la’ala khuluq ‘adhim” (sesungguhnya engkau/Muhammad berada di atas budi pakerti yang agung). Meskipun demikian, kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis nabi, dan salah satunya adalah: “innama bu’istu liutammima makarim al-akhlaq” (aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
B.     Saran
Kekurangan referensi membuat makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca mengenai Filsafat Akhlak. Dengan demikian, penulis berharap semoga makalah selanjutnya bisa lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Mudlor.  1985. Etika dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Poejdawijatno. 2003. Etika, Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Muthahhari, Murtadla. 1995. Falsafah Akhlak, diterjemahkan oleh Faruq bin Dliya’. Bandung: Pustaka Hidayah.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly























[1] Nawawi Abd. Jalil, “Dimana Allah?” (Sidogiri: Pustaka Aswaja, 2011) hal. -
[2] Murtadla Mutahhari, Falsafah Akhlak, terjemah Farukh bin Dliya’ (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 36.
[3] Muthahhari, h. 40
[4] Pudjowijatno, Etika, Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 14.
[5] Lihat, Muthahhari, h. 33
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 252
[7] Mudlor Achmad, Etika dalam Islam (Surabaya: al-Ikhlash, t.th.), h. 23.
[8] Mudlor, h. 23
[9] Pujowijatno, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 13-14.
[10] Muthahhari, h. 40
[11] Uraian mengenai hal ini dapat dibaca pada: Achmad Mudlor, h. 23.
[12] Mudlor, h. 23
[13] Lihat, Pujowijatno, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 13-14.
[14] Pujowijatno, h. 14.
[15] Lihat, Muthahhari, h. 33
[16] Mudlor Achmad, h. 22-23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar