Mata Kuliah : Pendidikan
agama Islam
Kelas :
Manajemen A3
Semester : 1 (Ganjil)
Tugas : Makalah
MID
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN AKHLAK DALAM SEJARAH
FILSAFAT ISLAM
Oleh:
ILMAWATI
NIM.
1211557
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2012
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat akhlak adalah satu bidang ilmu yang
baru tersusun dan berdiri secara mandiri. Usianya tidak lebih dari satu abad.
Banyak pemikir yang meyakini bahwa ilmu ini mulai diperkenalkan dengan
terbitnya Principia Ethica, karya george Edward Moore pada tahun 1903 M.
Tentunya, ada pembahasan-pembahasan filsafat akhlak yang dibahsa oleh
pemikir-pemikir sebelum Moore di dalam karya-karya akhlak dan falsafi mereka
secara acak dan seporadis. Bahkan, berdasarkan data-data akurat sejarah, bidang
yang paling menyita keseriusan kalangan filsuf dan pemikir adalah akhlak dan
isu-isu nya.
Demikian pula di alam pemikiran islam. Pembahasan-pembahasan
filsafat akhlak tidak pernah membentuk menjadi satu disiplin ilmu secara utuh.
Bahkan, tidak ada satu karya atau risalah pun yang ditulis dengan nama ini dikalangan
ulama-ulama terdahulu. Demikian ini tidak berarti mereka tidak pernah membahas
permasalahan-permasalahan filsafat akhlak di sela-sela penelitian falsafi dan
teologis. Bahkan banyak ditemukan subjek-subjek penting filsafat akhlak yang
dikaji oleh ulama dan filsuf muslim di dalam karya-karya falsafi, teologis,
usul fikih. Kajian-kajian itu terus berkembang dan menjadi rangkaian
persoalan-persoalan filsafat akhlak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Persoalan-persoalan seperti Husn wa qubh dzati yang diperdebatkan secara
sengit oleh ulama-ulama teolog As'ariyah, Mu'tazilah dan Syiah, serta dikaji
secara terperinci dalam literature falsafi, teologuis, bahkan juga dalam usul
fikih belakangan ini. Persoalan akal teoritis dan akal praktis yang dibuka
dalam psikologi falsafi, persoalan I'tibariyat dalam filsafat prima dan
usul fikih, persoalan semantika dan pertentangan antarinferensi (ta'arudul
adillah) dalam usul fikih, persolan masyhurat dan
proposisi-proposisi moral dalam teologi dan usul fikih, semua itu berkaitan
erat dengan filsafat akhlak. Berbagai teori dan pendapat ulama seputar
persoalan-persoalan itu turut mempercepat kelahiran ilmu ini. Kendati demikian,
mereka tidak bermaksud untuk menyusun satu bidang ilmu di balik
kajian-kajiannya, sehingga terjadi ketimpangan dan inkonsistensi dalam
pandangan-pandangan mereka. Berdasarkan hal-hal itulah, makalah ini akan
membahas mengenai perkembangan filsafat akhlak dalam sejarah filsafat Islam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini akan dijabarkan dalam
beberapa poin-poin penting berikut:
1. Bagaimana pandangan mutakallimin tentang akhlak?
2.
Bagaimana pandangan sufi tentang akhlak?
3.
Bagaimana pandangan filsuf muslim tentang akhlak?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1. Mengetahui pandangan mutakallimin tentang akhlak.
2. Mengetahui pandangan sufi tentang akhlak.
3. Mengetahui pandangan filsuf muslim tentang akhlak.
II. PEMBAHASAN
A.
Padangan Mutakallimin tentang Akhlak
Setiap orang
wajib mengetahui Tuhannya. Mengenai sejauh mana dia mengetahui, dan dengan cara
apa dia mencapai pengetahuan itu, hal itu masih terdapat tahapan-tahapan
tertentu. Menurut Imam al-Ghazali, tingkat iman itu ada tiga: Imannya orang
awam, imannya al-mutakallimîn (teolog), dan imannya al-‘ârifîn (orang-orang
yang makrifat). Imannya orang awam adalah iman taklid, mereka beriman karena
terpengaruh oleh kepercayaan yang tertanam di lingkungan sosialnya, atau karena
mengikuti tokoh- tokoh yang ia yakini kepastiannya. Sedangkan imannya
al-mutakallimîn adalah kepercayaan yang disertai dalil nalar[[1]].
Dari definisi al gazali tadi, dapat kita simpulkan bahwa golongan mutakallimin
dalam menelaah sebuah obyek menggunakan nalar nya sebagai senjata, Namun tidak
menyampingkan iman meraka. Hal ini juga yang digunakan mutakallimin dalam
memahami apa itu akhlak.
1.
Definisi Akhlak Menurut Mutakallimin
Secara istilah di kalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai pengertian akhlak. Ibn Miskawaih,
seorang tokoh filsafat etika, mengatakan bahwa akhlak adalah ”hal li an-nafs
da’iyah laha ila af’aliha min ghair fikr wa la ruwiyyah” (keadaan atau
kondisi jiwa yang mendorong manusia berbuat tanpa melalui proses pemikiran
mendalam terlebih dahulu). Al-Jaziri merumuskan bahwa definisi akhlak adalah
”keadaan yang sudah tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan baik dan
buruk, terpuji dan tercela dengan cara disengaja”. Sementara al-Ghazali membuat
defini akhlak sebagai ”suatu kondisi yang tertanam pada jiwa yang daripadanya
lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan fikiran
(terlebih dulu)”.
Dari definisi-definisi
tersebut dapat dipahami bahwa akhlak bukanlah merupakan perbuatan (lahir), melainkan
suatu ”keadaan jiwa” dan karenanya bersifat abstrak. Meskipun demikian keadaan
jiwa yang dimaksud tentu tidak dapat dilepaskan dengan perbuatan (lahir), sehingga
keduanya harus tetap dipandang sebagai dua setali mata uang karena saling
berhubungan: yang pertama sebagai sumber sedangkan yang kedua sebagai
manifestasinya, atau kalau yang pertama sebagai asal maka yang kedua sebagai
cabangnya. Oleh karena itu keduanya harus dilihat sebagai akhlak, meski dengan
posisi yang berlainan; sebab, keadaan jiwa—sebagai akhlak—mesti akah mewujud ke
dalam bentuk perbuatan, dan begitu pula suatu perbuatan mesti bersumber dari
dorongan jiwa. Hanya saja harus tetap dikatakan bahwa yang asal, dalam
pengertian akhlak, adalah kondisi jiwa dan kondisi jiwa itu akan mewujud ke
dalam tingkah laku sebagai manifestasinya.
Merujuk kepada definisi di
atas maka dapat dikatakan bahwa perbutan yang dapat disebut akhlak, atau
meminjam istilah Murtadla Muthahhari sebagai perbuatan akhlak, harus memenuhi
dua persyaratan: (1) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali, tentu
dalam bentuk yang sama, sehingga keberadaannya menjadi sebuah kebiasaan; (2)
Perbuatan itu dilakukan secara sengaja, didasarkan pada kehendak, bahkan
kehendak yang kuat, atau yang diistilah dengan azimah. Karena itu perbuatan
yang hanya dilakukan sekali saja maka belum bisa dikatakan akhlak, sebagaimana
perabuatan yang lahir karena reflek dan paksaan, maka juga tidak bisa dinamakan
perbuatan akhlak.
2. Ajaran Mutakallimin tentang Akhlak
Secara garis besar, golongan
mutakallimin berpendapat bahwa perbuatan akhlak adalah segala perbuatan yang
dilakukan untuk orang lain. Di sini berarti perbuatan akhlak didefinisikan dari
sisi tujuan, yang dalam ilmu logika dikategorikan sebagai definisi melalui
sebab-sebab eksternal yakni dari sebab akhir (final cause), sehingga
perbuatan akhlak dirumuskan sebagai ”perbuatan yang tujuannya untuk orang
lain”.[[2]]
Oleh karena itu semua perbuatan yang hanya diperuntukkan untuk diri sang
pelaku maka perbuatan itu tidak bisa dinamakan perbuatan akhlak, dan hanya
perbuatan yang diperuntukkan untuk orang lain atau dengan kata lain tujuan dari
perbuatan itu untuk orang lain, maka perbuatan itu adalah perbuatan akhlak. Jadi perbuatan akhlak dapat dirumuskan dengan ”perbuatan yang tujuannya
untuk orang lain”.[[3]]
Selain definisi di atas
ada rumusan lain dengan kriteria tertentu pula. Dalam konteks ini Immanuei
Kant, seorang filosof Jerman terkemuka, menetapkan ”perasaan kewajiban
intuitif” sebagai kriteria perbuatan akhlak.[[4]]
Dengan demikian menurut Kant, setiap perbuatan yang dilakukan manusia dengan
alasan mentaati perintah intuisi secara absolut, yakni ia melakukannya
semata-mata karena intuisinya memerintahkannya, dan dia tidak mempunyai tujuan
lain daripada perbuatannya itu, maka perbuatan sejenis itulah yang dinamakan
perbuatan akhlak. Sehingga kalau ditanyakan kepada pelakunya, mengapa anda
mengerjakan perbuatan itu?, dengan serta merta ia akan mengatakan, karena
intuisiku memerintahkannya. Jadi, Kant memandang bahwa kriteria perbuatan akhlak
adalah pelaksanaan kewajiban fitri intuitif, dengan syarat pelaksanaan
kewajiban itu tanpa dilatari oleh sebuah tujuan tertentu, karena akhlak hanya
ada dalam intuisi. Menurut Muthahhari, pandangan Kant ini ada sedikit benar
bila dikaitkan dengan firman Allah dalam Qs. 91: 8 ”demi jiwa dan
penyempurnaannya, maka Dia ilhamkan kepada jiwa itu jalan kebaikan dan jalan
keburukan”. Dan ketika Qs. 5:2 turun, diriwayatkan seorang lelaki bernama
Wabishah menghampiri nabi, yang kemudian ditebak nabi bahwa ia mau bertanya
tentang kebaikan dan dosa. Setelah dibenarkan oleh Wabishah, selanjutnya nabi
menjawab ”wahai Wabishah, mintalah jawaban dari hatimu”.[[5]]
B.
Padangan Sufi tentang Akhlak
Kata akhlak,
yang berasal dari bahasa Arab, sebagai bentuk jamak (plural)
dari khuluq,
mempunyai arti bahasa budi pakerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[[6]]
Sangat mirip dengan ini, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
sebagai budi pakerti atau kelakuan. Berkaitan dengan hal ini, kemudian Barmawi
Umari mengatakan bahwa asal kata akhlak adalah dari khilqun,
yang mengandung segi-segi persesuaian dengan kata khaliq dan
makhluq.
Dari sinilah—lanjut Barmawi Umari—asal perumusan kata akhlak yang
merupakan kumpulan (koleksi) anugerah Tuhan yang memungkinkan timbulnya
hubungan yang baik antara makhkuk (manusia) dengan khalik (Tuhan), serta antara
makhluk dengan sesama makhluk. Hal inilah yang menjadi landasan para sufi dalam
mengamalkan perintah sang khalik melalui interaksi-interaksi kehidupan sosial
dan spiritual.
1.
Definisi Akhlak Menurut Sufi
Berbeda dengan definisi
sebelumnya, kaum sufi lebih melihat perbuatan akhlak dari sisi sumbernya yakni
rasa cinta. Atas dasar ini dirumuskan bahwa perbuatan akhlak adalah ”segala
perbuatan yang bermuara dari rasa mencintai sesama”.[[7]]
Menurut pandangan ini, manusia memiliki sejumlah perasaan dalam jiwanya, dan
jika akar perbuatan adalah perasaan mencintai sesama maka perbuatan itu
dinamakan perbuatan akhlak. Dari segi simpulan, sebenarnya definisi ini sangat
mirip, dan bahkan identik, dengan yang pertama, hanya saja kalau definisi yang
pertama ditarik dari tujuan (ghayah), maka rumusan definisi yang kedua
ini ditarik dari final causa; karena, perbuatan-perbuatan yang dilakukan
untuk orang lain itu tidak akan pernah terwujud apabila manusia tidak memiliki
perasaan cinta sesama. Dengan kata lain, dua pandangan tersebut sangat dekat
dan mirip, karena segala perbuatan yang bersumber dari perasaan cinta sesama
sudah tentu tujuannya adalah untuk orang lain.
Berangkat dari kelemahan
yang inheren dalam rumusan definisi di atas, ada ahli yang kemudian menambahkan
unsur bahwa perbuatan akhlak harus diusahakan—tidak semata-mata berdasarkan
fitrah. Pandangan seperti ini berawal dari kasus mengenai fitrah seorang ibu
dalam memelihata anaknya, dimana seluruh perbuatannya itu tidak dapat
dikategorikan sebagai perbuatan akhlak karena para ibu memiliki perasaan
semacam itu bukan atas dasar kemauannya, melainkan fitrah dan aturan
penciptaannya. Oleh karena itu kemudian ada yang merumuskan bahwa perbuatan akhlak
adalah ”perbuatan yang tujuannya adalah orang lain atau bertolak dari perasaan
mencintai orang lain dengan syarat keadaan tersebut diperoleh dari hasil
usahanya sendiri, bukan alami”.[[8]]
Dikatakan demikian karena semua orang memahami bahwa akhlak identik dengan
usaha, sehingga perbuatan dikatakan akhlak kalau manusia berupaya untuk
melakukannya; jadi akhlak berbeda dengan perbuatan alami, dimana jenis yang
disebut terakhir ini tidak melibatkan usaha, tetapi perbuatan itu akarnya
adalah perasaan alami.[[9]]
2. Ajaran Kaum Sufi tentang Akhlak
Ajaran kaum sufi bersumber
dari akhlak rabbani. Adapun yang dimaksudkan dengan istilah akhlak rabbani di
sini adalah bahwa sistem atau ajaran akhlaknya dalam Islam bersumber dari wahyu
ilahi yang termaktub di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; jadi bukan didasarkan
pada hasil pemikiran dan kreativitas manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat
sekitar 1500 ayat yangmengandung ajara akhlak, baik yang teoritis maupun yang
praktis. Jumlah 1500 ayat yang mengandung ajaran akhlak itu meliputi hampir
seperempat kandungan al-Qur’an. Demikian pula dalam hadis-hadis nabi amat
banyak jumlahnya yang memberikan pedoman akhlak. Dalam Islam, sifat rabbani
dari akhlak, sebagaimana dikatakan oleh Yusuf al-Qardlawi, juga menyangkut
tujuannya. Akhlak dan moralitas bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia kini dan di akhirat kelak, dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dengan
diri sendiri, dengan orang lain dan dengan alamnya.
Penegasan tentang ciri
rabbani dalam akhlak islam itu mengandung makna pula bahwa akhlak islam bukan
moral yang kondisional dan situasional, tetapi akhak yang benar-benar mempunyai
nilai kebaikan mutlak. Akhlak rabbanilah yang mampu menghindari kekacauan nilai
moralitas (nisbi) dalam hidup manusia. Al-Qur’an mengajarkan, ”inilah jalan-Ku
yang lurus; hendaklah kamu mengakuinya; jangan kamu ikuti jalan-jalan lain,
sehingga kamu bercerai-berai dari jalannya. Demikian diperintahkan kepadamu,
agar kamu bertakwa” (Qs. 6: 163).
Meskipun sumber
kaidah-kaidah moralitas (akhlak) dalam islam adalah wahyu, namun wahyu tidak
pernah bertentangan dengan pendapat akal sehat. Yang diajarkan sebagai kebaikan
dalam wahyu adalah kebaikan menurut akal dan yang diajarkan sebagai keburukan
menurut wahyu adalah keburukan menurut akal. Jadi tidak mungkin ajaran wahyu
bertentangan dengan akal.
Ada beberapa cara yang dianjurkan dalam Al-Qur’an untuk memperbaiki
akhlak seperti pada Firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an (S. Al-Kahfi: 110) yang artinya
"Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah
ia mengerjakan amal yang saleh (memperbaiki akhlak) dan janganlah ia
mempersekutukan apapun dalam beribadat kepada Tuhan (bersih dari segala kotoran
hawa nafsu)"
Al-Ghazali di
dalam kitabnya Kimyaus-Saadah menyatakan
"tujuan perbaikan akhlak ialah membersihkan qalbu dari kotoran hawa
nafsu dan amarah hingga hati menjadi suci bersih bagaikan cermin yang dapat
menerima Nur cahaya Tuhan".
Sabar Firman Allah swt. dalam Al-Qur’an (S.
Al-Baqarah: 45 - 46) yang artinya
"Jadikanlah sabar dan Salat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya
yang demikian itu adalah tugas berat kecuali bagi orang yang khusyu".
Orang - orang
yang khusyu' itu ialah orang yang menyukai bahwa mereka itu akan bertemu dengan
Allah dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya"
Menurut
Al-Ghazali, 'Sabar' ialah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan
oleh hawa nafsu, tetap pada pendirian agama yang bertentangan dengan kehendak
hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat"
C.
Padangan Filosof Muslim tentang Akhlak
Agama Islam
pada intinya mengajak manusia untuk percaya kepada Tuhan dan mengakui bahwa
Tuhan adalah segala-galanya. Dia-lah pencipta, pemilik, pemelihara, pelindung,
pemberi rahmat, pengasih dan penyayang terhadap semua makhluk-Nya. Segala apa
yang ada di dunia ini diatur oleh-Nya.
Ajaran Islam
mengandung petunjuk, jalan hidup manusia yang paling sempurna yang dapat
menuntun kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semuanya terkandung dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang
mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan
prinsip-prinsip perbuatan.
Perhatian ajaran Islam terhadap pembinaan akhlak dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan kebaikan, berbuat adil, menyuruh berbuat baik dan mencegah melakukan kejahatan dan kemungkaran. Inilah yang menjadi teori para filosof muslim dalam menelaah makna sentral akhlak.
Perhatian ajaran Islam terhadap pembinaan akhlak dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan kebaikan, berbuat adil, menyuruh berbuat baik dan mencegah melakukan kejahatan dan kemungkaran. Inilah yang menjadi teori para filosof muslim dalam menelaah makna sentral akhlak.
1.
Definisi Akhlak Menurut Filosof Muslim
Definisi akhlak menurut
filosof muslim sama saja dengan pendapat mutakallim. Mereka sama-sama
menonjolkan akal dalam berakhlak. Salah satu contoh lain dari filosof yang
telah disebutkan di atas adalah Ibnu Hazm. Konsep
akhlak menurut Ibn Hazm terangkum dalam kitab al-Akhlaq Wa as-Siyar fi Mudāwah al-Nafs.
Aspek-aspek yang dikaji meliputi konsep akhlak, metode dalam mempertingkatkan
akhlak terpuji dan pandangan beliau dalam menyatakan tentang penyakit akhlak
dan rawatannya. Konsep akhlak yang dinyatakan oleh Ibn Hazm ialah akhlak
dicipta, dibentuk dan disusun oleh Allah swt. Ibn Hazm telah mengetengahkan
beberapa asas yang dianggap penting untuk membentuk akhlak terpuji dalam diri manusia,
di antaranya ialah dengan menuntut ilmu, percintaan, persahabatan dan memberi
nasihat. Kerusakan akhlak menurutnya merupakan sesuatu yang mudah dilakukan. Ia
telah menyatakan beberapa penyakit akhlak yang dianggap sebagai asas kerusakan
akhlak, yaitu menipu, cemburu dan bermegah-megahan.
Dalam pandangannya, akhlak merupakan sarana
ukur keselamatan manusia dalam menghadapi dua aspek kehidupan, yaitu
kebahagiaan dan kemalangan. Semua tergantung pada amal perbuatannya dan
karakter yang melingkupinya. Orang yang bahagia adalah orang yang suka
mengerjakan keutamaan dan ketaatan serta menjauh dari perbuatan tercela dan
kemaksiatan. Kemudian orang yang celaka adalah sebaliknya.
2. Ajaran Filosof Muslim tentang Akhlak
Lebih jauh lagi, para filosof islam pada umumnya menetapkan ”akal merdeka
atau kemerdekaan akal” sebagai kriteria perbuatan akhlak.[[10]]
Bila menunjuk pada perbuatan kategori dari dalam diri subjek, maka perbuatan akhlak
termasuk perbuatan sadar yakni dilakukan atas dasar kehendak bebasnya, bukan
perbuatan refleksi dan bukan pula perbuatan yang dilakukan saat subjek berada
dalam kondisi tidak sadar.[[11]]
Dan bila menunjuk pada perbuatan karena pengaruh pihak lain (orang luar), maka
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan akibat pengaruh orang lain
(luar), sepanjang pengaruh itu masih memberikan peluang subjek untuk memilih
perbuatan yang dikehendakinya.[[12]]
Jadi, pengaruh itu tidak sampai berbentuk paksaan dan ancaman yang sama sekali
tidak memberikan ruang kepada subjek hak untuk memilih secara bebas.
Pandangan semacam ini sesungguhnya dapat disederhanakan dengan ungkapan
bahwa perbuatan akhlak atau etis adalah perbuatan sengaja, dilakukan dengan
sadar atas pilihan bebas.[[13]]
Tahu dan memilih ada dua kriteria dari kesengajaan, sehingga adanya kesadaran
(pengetahuan) dan pilihan terhadap tindakan itu merupakan kriteria dari
perbuatan etis. Oleh karena itu, perbuatan anak kecil yang belum tahu, tentu
saja tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlak atau etis.[[14]]
Namun ada pendapat lain mengatakan bahwa ada karakteristik perbuatan akhlak:
pertama, dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga menjadi suatu
kebiasaan; kedua, perbuatan itu dilakukan karena kehendak dari dalam dirinya, bukan
karena alami dan tekanan.
Dari sejumlah pandangan ini kemudian ada yang menyimpulkan bahwa perbuatan akhlak
adalah ”perbuatan yang tujuannya untuk orang lain karena bertolak dari rasa
cinta kepada orang lain itu dan didasarkan atas kehendak bebasnya, bukan alami
dan bukan pula paksaan”.[[15]]
Dengan demikian kalau kita mengacu teori klasifikasi perbuatan atas perbuatan
oleh diri sendiri dan perbuatan oleh orang luar, maka perbuatan akhlak berada
pada wilayah perbuatan oleh diri sendiri yakni perbuatan yang dilakukan oleh
diri sendiri dalam situasi bebas, dan juga perbuatan atas pengaruh oleh orang
lain sebatas pengaruh itu masih memberikan peluang subjek untuk memilih
perbuatan yang dikehendaki—bukan karena ancaman dan paksaan yang tidak
memberikan ruang subjek hak pilih secara bebas.[[16]]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata akhlak, yang berasal dari bahasa
Arab, sebagai bentuk jamak (plural) dari khuluq,
mempunyai arti bahasa budi pakerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sangat mirip dengan ini, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
sebagai budi pakerti atau kelakuan. Berkaitan dengan hal ini, kemudian Barmawi
Umari mengatakan bahwa asal kata akhlak adalah dari khilqun,
yang mengandung segi-segi persesuaian dengan kata khaliq dan
makhluq.
Dari sinilah—lanjut Barmawi Umari—asal perumusan kata akhlak yang
merupakan kumpulan (koleksi) anugerah Tuhan yang memungkinkan timbulnya
hubungan yang baik antara makhkuk (manusia) dengan khalik (Tuhan), serta antara
makhluk dengan sesama makhluk. Kata akhlak memang terambil
dari bahasa Arab, namun kata seperti itu sekali-kali tidak pernah dapat
ditemukan di dalam al-Qur’an. Yang bisa didapatkan dari al-Qur’an hanyalah
bentuk tunggal atau mufrad kata tersebut yakni khuluq, yakni tercantum di dalam Qs.
al-Qalam (68) ayat 4: “wa innaka la’ala khuluq ‘adhim” (sesungguhnya
engkau/Muhammad berada di atas budi pakerti yang agung). Meskipun demikian,
kata akhlak banyak
ditemukan di dalam hadis-hadis nabi, dan salah satunya adalah: “innama
bu’istu liutammima makarim al-akhlaq” (aku hanya diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia).
B.
Saran
Kekurangan referensi membuat makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca mengenai Filsafat
Akhlak. Dengan demikian, penulis berharap semoga makalah selanjutnya bisa lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Mudlor.
1985. Etika dalam Islam. Surabaya:
Al-Ikhlas.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Poejdawijatno. 2003. Etika, Filsafat Tingkah Laku.
Jakarta: Rineka Cipta.
Muthahhari, Murtadla. 1995. Falsafah
Akhlak, diterjemahkan oleh Faruq bin Dliya’. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar