Mata
Kuliah : Pendidikan agama Islam
Kelas : Manajemen A3
Semester : 2 (Genap)
Tugas : Makalah MID
PELAKSANAAN DAN
PENERAPAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Oleh:
ILMAWATI
NIM.
1211557
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2012
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fareed Zakaria dalam bukunya yang berjudul The Future of
Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, antara bentuk pemerintahan
yang demokratis merupakan sebuah fenomena yang sedang menjadi trend di
dunia internasional.[1]
Sekitar 62% negara di dunia mengklaim dirinya sebagai negara demokratis dan
berbagai negara di dunia masih terus mengupayakan diri agar diakui sebagai
negara yang menganut sistem demokratis.[2]
Bentuk pemerintahan yang demokratis oleh sebagian besar negara di dunia antara
lain didasari oleh sebuah kenyataan bahwa negara-negara di Eropa Barat dan
Amerika Serikat yang memiliki perekonomian mapan dan stabil adalah negara
demokratis.
Penerapan konsep demokrasi dalam aspek kekuasaan berkembang dan
memberikan inspirasi bagi negara-negara yang baru terlepas dari penjajahan
kolonialisme di Inggris, Belanda, dan Eropa lainnya, sehingga ketika negara
bekas jajahan itu merdeka dan mendapatkan pengakuan secara internasional, maka
negara tersebut sebagian besar menerapkan konsep demokrasi termasuk juga di
Indonesia. Namun dalam perkembangannya demokrasi memiliki makna yang lebih luas
bahkan tuntutan masyarakat terhadap ide demokrasi tidak hanya menyangkut aspek
kekuasaan saja, akan tetapi juga nilai-nilai demokrasi dan bahkan berkembang
kearah demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.[3]
Demokrasi sebagai konsep negara modern sebenarnya merupakan
perubahan pemikiran dan perilaku yang cukup radikal, karena kelahirannya
termasuk pendobrakan terhadap tradisi masyarakat feodalistik dari kaum
bangsawan di lingkungan wilayah kerajaan di Eropa dan negara Asia serta Afrika.
Sebab tradisi pemikiran para kaum bangsawan kerajaan dari pola kekuasaan yang
tunggal, lebih cenderung otoriter serta tertutup. Nilai-nilai tersebut
dijungkirbalikkan dengan nilai-nilai kebebasan, kemerdekaan, persamaan, keadilan,
keterbukaan dan lain-lain. Sehingga pada hakekatnya perubahan yang fundamental
dari nilai-nilai yang feodalistik menuju pada perubahan nilai-nilai yang
demokratis tersebut mengandung perubahan pemikiran yang revolusioner dan bahkan
terkadang di lalui sampai dengan terjadi revolusi fisik. Oleh karena itu, jika
negara sudah menyatakan diri siap menjadi negara demokrasi apalagi negara
tersebut membuka diri terhadap nilai-nilai liberalisme, maka negara dan sistem
pemerintahannya harus benar-benar kuat (“strong leader and strong
government”). Sebab negara yang menganut demokrasi liberal, maka akan
diikuti oleh tata nilai yang lebih bebas pula, terkadang menginginkan
kecenderungan bebas nilai. Namun jika kondisi masyarakat belum siap
berdemokrasi, seperti di Indonesia, untuk menerapkan konsep demokrasi
memerlukan waktu dan pengorbanan tidak hanya dari masyarakatnya tapi juga dari
pihak pemerintahnya. Sebagai contoh penerapan demokrasi di Indonesia, meskipun
secara politik sudah berdemokrasi, misalnya dari aspek sistem kepartaian
menganut multi partai, telah menyelenggarakan pemilu secara rutin lima tahunan,
pembagian kekuasaan sudah sesuai dengan teori trias politika, sistem peradilan
yang bebas juga sudah diterapkan, akan tetapi tata nilai demokrasi ternyata belum
diikuti dalam penyelenggaraan di birokrasi pemerintahan. Fenomena praktek
demokrasi yang belum berjalan baik di masyarakat maupun di kalangan aparatur
birokrasi, secara empiris dapat terlihat, misalnya perilaku masyarakat yang
tidak terkontrol dan terkendali dengan baik yang masih menimbulkan tindakan
anarki seperti yang pada akhir-akhir ini terjadi di banyak kota dalam berbagai
peristiwa, misalnya; penggusuran, demo-demo mahasiswa, PKL, eksekusi
pengadilan, pemilukada, sepak bola, dan lain-lain. Demikian pula sikap dan
tindakan pemerintah dalam menghadapi demo PKL, penggusuran, seringkali berakhir
dengan bentrok fisik antara aparat pemerintah dengan masyarakatnya, karena
tindakan pemerintah yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis.[4]
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud demokrasi?
2. Apa saja macam-macam demokrasi dan kriteria yang dijadikan sebagai
unsur nilai-nilai demokrasi itu?
3. Apa alasan negara ingin melakukan transisi demokrasi dan bagaimana
pelaksanaan transisi demokrasi di Indonesia?
4. Bagaimanakah kehidupan yang demokratis dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Pengertian
demokrasi secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu “demos” yang
berarti rakyat, dan “kratos” berarti kekuasaan atau “berkuasa” dengan
kata lain demokrasi yaitu rakyat yang berkuasa atau “government of the rule
by the people” (Miriam Budiarja, 1977).[5] Abraham
Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang
diselenggarakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada di tangan
rakyat.[6]
Secara historis di Yunani Kuno, Romawi, dan Italia “kata demokrasi” disebut
dengan istilah “Pemerintahan Rakyat”. Dengan penggunaan istilah pemerintahan
rakyat orang Yunani seperti kita lihat, telah menciptakan istilah “demokrasi”.
Sedang orang Romawi berdasarkan bahasa asli Latin mereka menamakan
pemerintahannya dengan nama “Republik”, kemudian orang Italia memberikan nama
“pemerintahan rakyat” yang terdapat di beberapa kota disebut “Negara Kota”
mereka (Robert A. Dahl, 1999).[7]
Hakikat
demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat yang diwujudkan dalam
kelembagaan negara. Sehingga demokrasi menjadi harapan dan mungkin impian bagi
sebagian masyarakat, barangkali sebagian kata demokrasi dianggap dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat baik persoalan
mengenai konflik antara masyarakat dengan negara atau sebaliknya dan bahkan
antar kelompok dalam masyarakat bisa diselesaikan dengan cara demokrasi. Jadi
proses terbentuknya lembaga negara harus sesuai dengan keinginan masyarakat
melalui cara-cara demokratis. Persoalannya adalah bagaimana membangun mekanisme
kelembagaan yang demokratis tersebut.[8]
Menurut
Jean Baechler (1995) bisa menjelaskan secara lebih mengena dalam memberikan
ilustrasi tentang makna demokrasi sebagai berikut: “Dalam sejarahnya, demokrasi
belum pernah menjadi topik yang begitu hangat seperti sekarang”. Dalam sistem
demokrasi yang paling tua dan mapan di Eropa dan Amerika, beberapa warga negara
tengah menuntut pelaksanaan demokrasi yang lebih besar, sementara yang lainnya
menuntut agar kesenjangan dalam demokrasi dihapuskan. Di negara-negara yang
sistem demokrasinya lebih muda, ada kepedulian akan hadirnya lembaga-lembaga
yang diperlukan untuk membangun suatu “demokrasi sejati”, yang stabil dan
efektif, di tempat-tempat di mana belum sungguh-sungguh berakar, partai-partai
oposisi mencita-citakan demokrasi dalam berbagai bentuk. Jadi makna demokrasi
lebih memberikan perhatian pada lembaga-lembaga yang diperlukan untuk membangun
demokrasi bisa stabil dan efektif dalam mengelola keinginan-keinginan
masyarakat. Lazimnya dalam konsep negara modern lembaga kekuasaan terdiri dari
lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.[9]
Pasang
surut dan dinamika penerapan demokrasi, telah mengalami berbagai peristiwa
sejarah yang dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Hidup berdemokrasi
pada kenyataannya memerlukan tidak hanya kesiapan “politik” semata tetapi yang
paling esensial adalah kesiapan “kultur” masyarakatnya. Penjelasan tentang
demokratis secara realistis dalam arti situasi dan kondisi yang lebih kondusif
untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, ditengarai sejak mulai dibuka kran
demokrasi tepatnya sejak tahun 1998, yang disebut sebagai era reformasi,
merupakan momentum yang baik untuk melakukan perubahan dalam kehidupan
masyarakat yang lebih demokratis. Akan tetapi ketika kran demokrasi dibuka,
mengalir deras seperti air bah, para elite politik dan para pemimpin
masyarakat, tidak secara serentak melakukan konsolidasi kekuasaan yang lebih
institusionalisasi, sehingga kekuasaan yang berada di tangan rakyat bergerak
liar tanpa kendali. Bahkan banyak kalangan yang memberikan penilaian terhadap
perkembangan politik negeri ini menganggap; “demokrasi sudah kebablasan”. Namun
sebagai konsekuensinya pilihan demokrasi liberal yang menjadi kiblatnya
demokrasi di Indonesia, sesungguhnya memang harus disikapi dengan pikiran jernih
dan kepala dingin, sehingga jika terjadi seperti “shock culture”, yang
menyebabkan sikap dan perilaku “euphoria”, pada dasarnya harus
dipelakukan dengan tindakan yang arif dan bijaksana. Kesiapan menerapkan
demokrasi bagi bangsa Indonesia dimulai dari para pemimpin dan elite politik
dan masyarakatnya. Membangun perilaku dan budaya politik yang demokratis
terutama bagi generasi mudanya yang pada akhir-akhir ini dalam melakukan
demonstrasi, cenderung tidak sopan, liar dan tanpa perasaan, sebenarnya tidak perlu
ditanggapi secara berlebihan. Mereka juga anak-anak bangsa yang juga nantinya
sebagai generasi penerus, jika mereka berperilaku yang melanggar tata nilai
ketimuran dalam menghargai terhadap orang tua dan para pemimpinnya, sudah
barang tentu perlu dibangun budaya politik yang elegan, menjunjung tinggi
moralitas dan sportivitas, melalui “pendidikan politik yang tepat”.[10]
Apabila
menganalisis fenomena tersebut, diduga kesalahan yang kurang diantisipasi pada
saat konsolidasi kekuasaan baik oleh supra dan infra struktural politik, belum
dilakukan secara tuntas dalam penataan kelembagaan politik tersebut, sehingga
nilai kebebasan yang berada dipusaran masyarakat, masih menjadi bola liar yang
sudah mulai sulit dikendalikan, ketika kondisi penegakan hukum lemah. Oleh
karena penerapan demokrasi baru bisa berjalan dengan baik dan stabil,
membutuhkan kesiapan masyarakatnya dalam menerima, merespon dan mampu melakukan
internalisasi nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, persamaan dan keadilan,
menjadi budaya dalam sikap dan perilaku masyarakat kearah demokratisasi
tersebut yang lebih elegan, tertib dan menjaga etika dan moral. Demikian pula
kesiapan kemampuan dan kapasitas birokrasi juga harus kuat dengan didukung oleh
kepemimpinan pemerintahan yang “visioner dan demokratis”.[11]
Disamping
itu, demokrasi juga membutuhkan konsistensi dalam penegakan hukum dan
stabilitas keamanan yang terkendali. Menurut Jeff Heyness (1997) demokrasi yang
baik adalah yang bisa diharapkan sebagai demokrasi yang substansional, bukan
demokrasi yang formal atau demokrasi permukaan. Demokrasi formal yaitu dimana
negara telah mampu membangun tiga pilar kekuasaan yaitu; legislatif, eksekutif
dan yudikatif, mampu melaksanakan pemilu secara rutin, teratur, bebas dan adil.
Namun hasil demokrasi belum sampai berpengaruh terhadap iklim perubahan
terhadap perbaikan masyarakat dari kemiskinan, kesejahteraan masyarakat yang
masih timpang dan kesenjangan sosial yang semakin melebar, artinya belum sampai
berpengaruh terhadap terwujudnya demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.
Demikian pula demokrasi permukaan artinya demokrasi yang dilihat secara formal
sudah memenuhi syarat demokrasi seperti; sudah ada partai politik lebih dari
satu, sudah ada pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif,
pelaksanaan pemilu diselenggarakan secara rutin. Namun dilain pihak tindakan
pemerintah masih menggunakan cara-cara tidak demokratis, seperti pembatasan
terhadap media massa bahkan sering dilakukan pemberedelan terhadap media massa,
penangkapan terhadap para aktivis tanpa melalui peradilan, bahkan tindakan
penculikan dan menghilangkan nyawa para aktivis dan lain-lain. Adapun demokrasi
substansial dimaksudkan bahwa penerapan demokrasi membawa pengaruh tidak hanya
terhadap penataan kehidupan politik, akan tetapi juga berpengaruh terhadap
penataan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan birokrasi pemerintahan.[12]
Dengan
demikian, jika demokrasi ingin bisa diwujudkan harus diikuti dengan perubahan
tata nilai masyarakat yang sesuai dengan konsep demokrasi yang dikehendaki
tersebut. Tata nilai masyarakat yang sudah demokratis tersebut seperti;
kebebasan, persamaan, keterbukaan, kontrol dan partisipasi, merupakan modal
sosial yang sangat strategis dalam mendorong suksesnya penyelenggaraan
pemerintahan. Sebab sudah menjadi kenyataan bahwa dalam setiap pelaksanaan
kebijakan pemerintah di semua sektor sangat memerlukan dukungan seluruh
masyarakat. Sebagaimana konsep “good governence” yang memberikan
landasan prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik melibatkan 3 (tiga) stakeholder
yaitu; pemerintah, masyarakat dan sektor dunia usaha (swasta). Konsep
tersebut merupakan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis,
jika dijalankan dengan serius dan konsisten.[13]
B. Macam-macam Demokrasi
Menurut
Jeff Haynes (1997) macam-macam demokrasi yaitu: demokrasi formal, demokrasi
substantif dan demokrasi permukaan (façade)[14]
dengan penjelasan sebagai berikut:
a)
Demokrasi Formal
Demokrasi
formal ditandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas dan adil. Kompetitif
biasanya ditandai dengan tidak digunakannya paksaan secara berlebihan oleh
negara terhadap masyarakat. Secara teoritis lewat pertanggungjawaban pemerintah
terhadap yang diperintah (warga negara) melalui kotak suara, dan ditegakkan “Rule
of Law”. Ada kebebasan sipil dan politis yang cukup untuk menjamin
kompetisi dalam pemilihan umum.
Istilah
demokrasi formal dalam pemikiran masyarakat saat ini mungkin bisa disamakan dengan
istilah demokrasi prosedural, artinya bahwa persyaratan formal bagi berjalannya
demokrasi sudah terpenuhi. Seperti misalnya: adanya partai politik yang
jumlahnya lebih dari 2 (dua), diselenggarakannya pemilu oleh pemerintah secara
rutin, dan sebagainya. Namun hasilnya belum bisa memenuhi standar demokrasi
yang bermutu atau berkualitas. Dengan kata lain penyelenggaraan pemilu
seharusnya dikaitkan dengan kualitas hasil pemilu yaitu wakil rakyat atau
pemimpin pemerintahan yang profesional dan kompeten. Bukan semata-mata yang
menjadi tolak ukur berjalannya proses demokrasi hanya melihat prosedurdan
formalitas saja, tidak sekedar proses demokrasi telah dijalankan dengan baik.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jika dilihat kondisi empiris pelaksanaan
demokrasi di Indonesia saat ini masih bersikap demokrasi formalitas. Sebab
hasil pelaksanaan demokrasi belum memberikan suatu standar kepemimpinan
nasional dan kelembagaan legislatif yang bisa dibanggakan sesuai harapan
masyarakat. Terbukti banyak pemimpin daerah dan anggota legislatif yang terkena kasus hukum yaitu menjadi
tersangka kasus pidana korupsi, baik periode hasil pemilu legislatif, tahun
1999 maupun tahun 2004 serta pemilukada di banyak daerah-daerah di Indonesia.
b)
Demokrasi Permukaan
Demokrasi
“permukaan” merupakan hal yang umum di dunia ketiga, tampak luarnya memang
demokrasi tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Jika istilah
demokrasi permukaan ini dianalogikan dengan situasi dan kondisi kehidupan
politik di Indonesia, yaitu lebih tepat situasi di era orde baru. Karena semua
kriteria dan nilai demokrasi sudah terpenuhi, namun secara prinsip dalam
kehidupan masyarakat lebih menonjol tindakan yang lebih represif dan otoriter
dari penguasa dan kurang terjaminnya dalam mengembangkan kebebasan berekspresi,
disamping itu terjadi pelanggaran HAM misalnya; melakukan penculikan terhadap
aktivis politik dan bahkan sampai saat ini mereka masih dinyatakan “hilang”,
sehingga dengan berbagai bentuk tindakan pemerintah Orba pada waktu itu yang
otoriter dan represif, membuat kontrol masyarakat lemah. Apabila kontrol
masyarakat lemah akan mudah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of
power. Dengan demikian demokrasi permukaan dapat dikatakan “demokrasi
semu”, seolah-olah demokrasi padahal yang dirasakan masyarakat mencerminkan
tindakan yang tidak sesuai dengan nilai demokrasi.[15]
c)
Demokrasi Substansif (Substantive Democracy)
Demokrasi
Substansif memperluas ide demokrasi di luar mekanisme formal. Ia
mengintensifkan konsep dengan memberikan penekanan pada kebebasan dan
diwakilinya kepentingan melalui forum publik yang dipilih atas dasar
partisipasi kelompok. Ia merupakan pendalaman demokrasi dimana semua warga
negara mempunyai akses yang mudah pada proses pemerintahan dan suara di alam
pengambilan keputusan secara kolektif. Istilah demokrasi substansif ini memang
dikembangkan dalam pemikiran yang lebih memiliki substansi demokrasi, dalam
arti tidak hanya pada aspek politiknya saja. Akan tetapi demokrasi subtansial
ini sudah mampu memberikan ruang demokrasi yang lebih luas yaitu demokrasi
sosial dan demokrasi ekonomi.
Konsep
demokrasi seperti yang diuraikan diatas, pada hakikatnya dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan dapat menjadi rujukan bagi perubahan perilaku para
aparatur birokrasi agar mampu menyesuaikan diri dalam menerapkan konsep yang
sesuai dengan kriteria demokrasi itu sendiri. Sehingga iklim mendemokrasikan
birokrasi dapat terwujud seiring dengan perubahan paradigma demokratisasi
birokrasi bagi para penyelenggara negara atau aparatur birokrasi.
C. Transisi Demokrasi
a)
Alasan Transisi Demokrasi
Menjadi
suatu negara demokratis, mensyaratkan negara yang bersangkutan melalui suatu
tahapan yang disebut sebagai tahap transisi demokrasi. Tahapan ini akan dialami
oleh negara-negara yang diperintah oleh rezim otoriter, sebagai bentuk untuk
mencapai kondisi yang lebih demokratis.[16]
Ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam
menimbulkan keinginan suatu negara mengubah dirinya menjadi negara demokratis.
Menurut Huntington, faktor ekonomi mempengaruhi demokratisasi gelombang ketiga
dengan tiga cara sebagai berikut:[17]
1.
Lonjakan
harga minyak dan kendala-kendala Marxis-Leninis menyebabkan merosotnya performa
ekonomi yang akhirnya melemahkan rezim otoriter.
2.
Pada
tahun 1970-an banyak negara yang telah mencapai tahapan perkembangan ekonomi
yang signifikan untuk menjadi landasan ekonomi bagi demokrasi dan melancarkan
transisi demokrasi.
3.
Pertumbuhan
perekonomian yang cepat di beberapa negara menyebabkan labilnya pemerintahan
otoriter dan memaksa mereka untuk melakukan liberalisasi.
Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, faktor perekonomian
menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya demokratisasi. Negara-negara
maju, seperti Eropa dan Amerika menjadi kiblat negara lain dan menimbulkan
anggapan bahwa sebuah negara demokratis memiliki kecenderungan untuk menjadi
negara maju.
Selain
faktor ekonomi tersebut, keinginan untuk tidak terkucil dari pergaulan dunia
internasional juga menjadi faktor yang mendorong banyak negara ingin mendapat
pengakuan yang luas tentang statusnya sebagai negara demokratis. Negara yang
tidak demokratis cenderung dikucilkan dalam hubungan internasional sehingga
negara yang demokratis cenderung memilih untuk melakukan kerjasama dengan
negara-negara yang demokratis karena mereka percaya bahwa sesama negara
demokratis tidak akan saling menyerang.[18]
Evolusi
pemikiran demokratisasi didominasi oleh literatur tentang tahapan transisi
rezim yang harus dilalui suatu negara untuk membangun suatu rezim demokratis.
Defenisi tentang demokratisasi cenderung telah disepakati dan mengacu kepada
karya Samuel Huntington dalam bukunya The Third Wave of Democratization in
the Late Twentieh Century yang memberikan kerangka substantif
demokratisasi, yaitu (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) adanya proses
transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi
politik menuju pembentukan rezim demokratis, dan (3) konsolidasi rezim
demokrasi.[19]
Proses
menuju pembentukan rezim demokratis ini mencakup beberapa tahapan yang dikenal
sebagai transisi demokrasi. Kajian transisi demokrasi merupakan salah satu
konsentrasi akademik yang berkembang pesat ditandai dengan maraknya
kajian-kajian tentang gelombang demokratisasi yang terjadi di Eropa Selatan dan
Amerika Latin di akhir dekade 1970-an sampai dekade 1990-an. Studi-studi
demokratisasi, seperti yang terlihat pada karya Palma, Diamond, Huntington,
Linz, Lipset, Lowenthal, O’Donnel, Przeworksi, Remmer, Schmitter, Share, dan
Stepan sangat diilhami oleh arah gelombang demokratisasi ketiga.[20]
Para
akademisi sepakat bahwa transisi demokrasi adalah tahap awal proses
demokratisasi yang ditandai dengan peningkatan partisipasi publik, liberalisasi
politik, peningkatan hak sipil, serta implementasi prosedur-prosedur demokrasi
dalam ruang publik. Tahap transisi tersebut di setiap negara terjadi melalui
beberapa jalur yang berbeda tergantung dari pra-kondisi demokrasi yang ada di
masing-masing negara.
Share
dalam bukunya Transition to Democracy and Transition to Througg Transaction mengungkapkan,
empat jalur dominan proses transisi yang divergensinya tergantung pada
akselerasi demokratisasi serta komitmen politik pemimpin rezim. Berdasarkan dua
variabel tersebut, Share membuat empat kategori jalur transisi, yaitu (1)
demokratisasi bertahap, (2) transaksi konsesual, (3) transisi revolusioner, dan
(4) transisi disintegratif. Upaya pemetaan jalur transisi juga dilakukan oleh Rustow
dalam bukunya The Surging Tide of Democracy yang menginisiasi tiga jalur
top-down, bottom-up, dan negosiasi, atau Linz dalam bukunya Crisis,
Breakdown, and Reequilibrium yang menawarkan dua jalur transisi, yakni
reforma dan ruptura, atau Lynn Karl dalam Dilemmas of Democratization in
Latin America yang menemukan jalur akar rumput dan jalur elit, serta Stepan
dalam Paths Toward Democratization: Theoritical and Comparative
Considerations yang juga melihat adanya tiga variasi transisi, yakni
demokratisasi oleh rezim, demokratisasi oleh oposisi, dan perang.[21]
Proses
demokratisasi lebih identik dengan konflik daripada perdamaian. Mansfield dan
Synder memperingatkan bahwa proses demokratisasi di negara yang memiliki
legitimasi vertikal yang kecenderung rendah, seperti Indonesia akan diikuti
oleh (1) pelebaran spektrum politik, (2) kemunculan kepentingan sesaat yang
dapat di negosiasikan di kalangan elit, (3) kompetisi untuk mendapat dukungan
massa seluas-luasnya, dan (4) melemahnya otoritas politik pusat. Keempat dampak
proses demokratisasi ini cenderung akan membawa masyarakat ke arah konflik
horisontal terutama karena institusi politik yang ada tidak dapat
mengantisipasi ledakan partisipasi politik yang begitu besar.[22]
Dengan
demikian, proses demokratisasi akan cenderung diiringi dengan proses
konsolidasi kekuatan yang dapat secara efektif mengelola potensi penggunaan
kekerasan. Kompetisi untuk mengelola kekerasan ini akan menghantui proses
demokratisasi dan kegagalan institusi politik untuk mengelola kekerasan yang
memicu terjadinya perang internal.
b)
Pelaksanaan Transisi Demokrasi di Indonesia
Setelah
lebih dari 30 tahun Indonesia diperintah oleh rezim Soeharto yang otoriter,
Indonesia mulai memasuki tahap transisi menuju ke pemerintahan yang lebih
demokratis. Dalam kurun waktu 30 tahun tersebut rakyat Indonesia sangat
dibatasi hak-hak politiknya, namun demikian hak-hak ekonomi rakyat pada saat
itu cukup terpenuhi sehingga gelombang protes terhadap rezim otoriter yang
berkuasa belum mengemuka.[23]
Rakyat
mulai memprotes rezim yang berkuasa ketika Indonesia terpengaruh oleh krisis
ekonomi regional yang terjadi di paruh kedua dekade 90-an. Tidak terpenuhinya
dengan baik kebutuhan ekonomi pokok membuat rakyat mulai melancarkan
protes-protes terhadap rezim yang berkuasa, dan protes tersebut kemudian meluas
tidak hanya menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun pelaksanaan hak-hak
asasi lainnya (misalnya hak politik). Gelombang protes tersebut kemudian
berhasil menjatuhkan rezim Soeharto pada bulan Mei 1998. Sesudah itu, Indonesia
memasuki tahap transisi yang disertai dengan proses desentralisasi yang
menekankan pada otonomi rakyat dan pelaksanaan pemerintahan yang lebih
transparan. Proses transisi demokrasi merupakan proses yang rawan karena dalam
proses tersebut terjadi perubahan keadaan dari A ke B yang sifatnya irreversible
dan mendasar, di mana masing-masing kondisi tersebut memiliki karakter yang
statis. Masa transisi demokrasi merupakan tahapan yang memiliki resiko tinggi
karena sarat dengan ketidakpastian dan rentan terhadap kekerasan. Dalam tahapan
ini, selalu ada kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan kembalinya rezim
otoritarian, yang didasari oleh kepentingan kelompok atau karena anggapan bahwa
otoritarian merupakan salah satu rezim yang stabil, hal ini terjadi pula di
Indonesia. Indonesia berulang kali harus berhadapan dengan hambatan-hambatan
menuju proses demokratisasi dalam berbagai dimensi, yakni ekonomi dengan
inflasi dan tingginya angka pengangguran, ancaman keamanan melalui teror dan
penggunaan kekerasan.[24]
Scolte
dalam Civil Society and Democracy in Global Governance menyatakan ada
beberapa kondisi yang dapat mendukung kelancaran proses transisi demokrasi dan
mengurangi akibat negatif yang ditimbulkan oleh kerawanan proses tersebut.
Kehadiran masyarakat sipil diidentifikasi sebagai pilar utama yang dapat
membantu kelancaran proses transisi demokrasi, mengingat bahwa demokrasi adalah
sebuah kondisi di mana rakyat memiliki suatu kesempatan untuk secara aktif
menentukan nasibnya sendiri dengan mengkompromikan hak-hak asasi individu yang
mereka miliki.[25]
Dalam hal ini, kehadiran masyarakat sipil mampu memberdayakan individu dalam
masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya dan menggerakkan politik global ke
arah yang lebih partisipatoris.
Martin
Griffith dan Terry O’Callaghan dalam bukunya International Realtions: The
Key Concepts mengemukakan bahwa kehadiran masyarkat sipil sebagai pilar
demokrasi tidak dapat dilepaskan dari hakikat masyarakat sipil itu sendiri.
Konsepsi masyarakat sipil mengalami evolusi yang panjang. Masyarakat sipil
merupakan sebuah ruang publik di mana penduduk dapat melakukan
aktifitas-aktifitas politik secara independen terhadap state. Masyarakat
sipil sendiri terdiri dari berbagai organisasi nonpemerintah (Organisasi
Masyarakat Sipil) yang kuat untuk mengimbangi negara dan mencegahnya
mendominasi aktifitas masyarakat, tanpa menghalangi negara untuk memenuhi
perannya sebagai peacekeeper dan arbitrator di antara pihak-pihak yang
memiliki kepentingan tertentu.
Walaupun
demikian, kontribusi masyarakat sipil dalam proses transisi demokrasi di
Indonesia mulai dipertanyakan ketika kemunculan organisasi masyarakat sipil
tersebut diinduksi oleh aktor eksternal yang antara lain berupa lembaga donor
internasional. Sama dengan proses munculnya masyarakat sipil di negara
berkembang pada umumnya juga, proses kemunculan masyarakat sipil di Indonesia
lebih banyak diakibatkan oleh kekuatan eksternal, seperti respons terhadap
kebutuhan donor untuk menyalurkan bantuannya dan menyebarkan nilai-nilai
demokrasi dan pembangunan yang dianutnya.[26]
Berbeda dengan kemunculan masyarakat sipil di Eropa cenderung terjadi karena
adanya kekuatan internal yang menginginkan perubahan tatanan sosial politik. Di
negara-negara Eropa, rakyat secara sadar membentuk masyarakat sipil untuk
melindungi hak dasarnya dari tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah, serta berusaha membuat pemerintah mempertimbangkan pertanggungjawaban
tindakannya kepada rakyat dalam pemngambilan keputusan. Sementara itu,
kemunculan masyarakat sipil di negar-negara dunia ketiga terjadi karena adanya
upaya penyebaran gagasan-gagasan neoliberal, melalui suatu konsep yang
mendukung suatu proses desentralisasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan
demokratisasi. Pengaruh lain dari pihak asing adalah pembentukan masyarakat
sipil berupa pemberian dana bantuan untuk advokasi dan pembangunan kapasitas
masyarakat sipil yang diberikan oleh institusi-institusi internasional karena
lemahnya masyarakat sipil di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia.
D. Kehidupan
yang Demokratis dalam Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Sepanjang
masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam
demokrasi. Sejarah dan perkembangan budaya demokrasi di Indonesia jika ditinjau
dari segi waktu dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:[27]
1.
Periode
Demokrasi Parlementer 1945-1959
2.
Periode
Demokrasi Terpimpin 1959-1965
3.
Periode
Demokrasi Pancasila 1965-1998
4.
Periode
demokrasi dalam orde reformasi 1998-sekarang.
Pada awalnya,
penerapan demokrasi lebih terfokus pada bidang politik atau sistem
pemerintahan. Wujud penerapannya antara lain dengan penyelenggaraan pemilihan
umum, pergantian pemegang kekuasaan pemerintahan, kebebasan menyatakan
pendapat, dan lain-lain.[28]
Dalam
perkembangannya, konsep demokrasi juga diterapkan dalam berbagai bidang
kehidupan, yakni dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan
bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya
diterapkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Kehidupan yang demokratis adalah kehidupan yang melibatkan
partisipasi rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat.
Perhatikan isi
UUD 1945 pasal 33 berikut ini!
Ayat (1) :
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Ayat (2) : Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
Ayat (3) : Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-bear kemakmuran rakyat.
Ayat (4) :
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, kemandirian, serta
dengan mejaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Yang perlu
diketahui bahwa isi pasal 33 Uud 1945 sebelum diadakan perubahan hanya terdiri
dari ayat (1), (2), dan (3) tersebut. Meskipun tidak dinyatakan secara
eksplisit, namun isi-isi ayat-ayat tersebut mengisyaratkan berlakunya demokrasi
ekonomi. Hal ini tercermin pada kata-kata: usaha bersama, bersifat
kekeluargaan, dan untuk kemakmuran rakyat. Setelah dilakukan perubahan terhadap
UUD 1945, muncullah pasal 33 ayat (4) tersebut. Perubahan itu semakin
menguatkan berlakunya demokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian di Indonesia.
Untuk memahami
makna demokrasi ekonomi, terlebih dahulu kita perlu memahami makna demokrasi.
Makna demokrasi yang sangat mendasar adalah partisipasi atau keikutsertaan
seluruh rakyat atau warga dalam menentukan kehidupan bersama. Posisi rakyat
atau warga bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek dalam kehidupan
bersama. Tujuan akhirnya adalah terciptanya kesejahteraan seluruh rakyat atau
warga. Demikian pula halnya dalam bidang ekonomi. Persoalannya adalah bagaiman
agar rakyat atau warga ikut serta dalam kegiatan ekonomi, baik dalam proses
produksi maupun distribusi. Keikutsertaan rakyat dalam proses produksi bukan
semata-mata sebagai alat produksi atau buruh yang bekerja pada majikan dengan
upah rendah. Mereka harus ikut menikmati keuntungan-keuntungan yang diperoleh
dari hasil produksi itu dengan memperoleh jaminan hidup yang layak. Dengan
demikian akan tercipta kesejahteraan rakyat.
Salah satu
bentuk kegiatan badan usaha yang bersifat demokratis adalah koperasi. Sejalan
dengan semangat demokrasi, koperasi terkenal dengan semboyannya “dari anggota,
oleh anggota, dan untuk anggota”. Dalam koperasi, pemegang kekuasaan tertinggi
adalah rapat anggota. Rapat anggota berwenang meminta keterangan dan
pertanggungjawaban pengurus maupun pengawas dalam menjalankan tugasnya. Rapat
anggota itu diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.[29]
Dalam pasal 5
Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang koperasi dinyatakan tentang
prinsip-prinsip koperasi sebagai berikut.
1.
Keanggotaan
bersifat sukarela dan terbuka
2.
Pengelolaan
dilakukan secara demokratis
3.
Pembagian
sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing
4.
Pemberian
balas jasa terbatas terhadap modal
5.
Kemandirian.
Selanjutnya,
penerapan konsep demokrasi dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan nasional
kita dari dulu hingga sekarang sebenarnya memiliki visi atau pandangan yang
demokratis. Perhatikan isi Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional berikut ini!
1.
Pasal
3 menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupa bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
2.
Pasal
4 ayat (1) menyatakan: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
3.
Pasal
5 menyatakan tentang jaminan hak untuk memperolrh pendidikan bagi semua warga
negara, tanpa kecuali. Perhatikan isi pasal 5 ayat (1) hingga (5) berikut ini![30]
Ayat (1) : Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Ayat (2) : Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Ayat (3) : Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Ayat (4) : Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Ayat (5) : Setiap
warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.
4.
Pasal
8 menyatakan: “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”.
5.
Pasal
54 ayat (1) menyatakan: “Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan”.
6.
Pasal
55 ayat (1) menyatakan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat”.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat
diambil dari pembahasan sebelumnya yaitu:
v Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana segenap rakyat turut
serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (partisipasi).[31]
v Macam-macam demokrasi, yaitu: demokrasi formal, demokrasi
substantif dan demokrasi permukaan.
v Ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam
menimbulkan keinginan suatu negara mengubah dirinya menjadi negara demokratis. Meskipun
bukan merupakan faktor tunggal, faktor perekonomian menjadi salah satu faktor
pendorong terjadinya demokratisasi.
v Dalam perkembangannya, konsep demokrasi juga diterapkan dalam
berbagai bidang kehidupan, yakni dalam kehidupan ekonomi, pendidikan,
sosial-budaya, dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian,
demokrasi tidak hanya diterapkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kehidupan yang demokratis adalah
kehidupan yang melibatkan partisipasi rakyat dan ditujukan untuk kepentingan
rakyat.
b. Saran
Kita memang
telah menganut budaya demokrasi dan bahkan telah dipraktekkan baik dalam
keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan
tetapi, kita belum membudayakannya.
Kita perlu
membudayakan budaya demokrasi sebagai penghayatan terhadap nilai-nilai
demokrasi yang telah menjadi kebiasaan dan mendarah daging diantara warga
negara. Dengan begitu, setiap warga negara dan pemerintah tidak akan melanggar
nilai-nilai demokrasi dengan mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Istianto, Bambang. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta:
Mitra Wacana Media.
Widjajanto, Andi, et al., eds. 2007. Transnasionalisasi
Demokrasi. Cet 1; Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sundawa, Dadang, et al., eds. 2008. Contextual Teaching
and Learning PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN SMP/MTs Kelas VIII Edisi 4. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Tim Abdi Guru. 2005. Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VIII.
Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar