Minggu, 15 September 2013

Demokrasi

Mata Kuliah  : Pendidikan agama Islam
Kelas              : Manajemen A3
Semester       : 2 (Genap)
Tugas             : Makalah MID

PELAKSANAAN DAN PENERAPAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Oleh:
                                        ILMAWATI
                                        NIM. 1211557


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2012

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fareed Zakaria dalam bukunya yang berjudul The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, antara bentuk pemerintahan yang demokratis merupakan sebuah fenomena yang sedang menjadi trend di dunia internasional.[1] Sekitar 62% negara di dunia mengklaim dirinya sebagai negara demokratis dan berbagai negara di dunia masih terus mengupayakan diri agar diakui sebagai negara yang menganut sistem demokratis.[2] Bentuk pemerintahan yang demokratis oleh sebagian besar negara di dunia antara lain didasari oleh sebuah kenyataan bahwa negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang memiliki perekonomian mapan dan stabil adalah negara demokratis.
Penerapan konsep demokrasi dalam aspek kekuasaan berkembang dan memberikan inspirasi bagi negara-negara yang baru terlepas dari penjajahan kolonialisme di Inggris, Belanda, dan Eropa lainnya, sehingga ketika negara bekas jajahan itu merdeka dan mendapatkan pengakuan secara internasional, maka negara tersebut sebagian besar menerapkan konsep demokrasi termasuk juga di Indonesia. Namun dalam perkembangannya demokrasi memiliki makna yang lebih luas bahkan tuntutan masyarakat terhadap ide demokrasi tidak hanya menyangkut aspek kekuasaan saja, akan tetapi juga nilai-nilai demokrasi dan bahkan berkembang kearah demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.[3]
Demokrasi sebagai konsep negara modern sebenarnya merupakan perubahan pemikiran dan perilaku yang cukup radikal, karena kelahirannya termasuk pendobrakan terhadap tradisi masyarakat feodalistik dari kaum bangsawan di lingkungan wilayah kerajaan di Eropa dan negara Asia serta Afrika. Sebab tradisi pemikiran para kaum bangsawan kerajaan dari pola kekuasaan yang tunggal, lebih cenderung otoriter serta tertutup. Nilai-nilai tersebut dijungkirbalikkan dengan nilai-nilai kebebasan, kemerdekaan, persamaan, keadilan, keterbukaan dan lain-lain. Sehingga pada hakekatnya perubahan yang fundamental dari nilai-nilai yang feodalistik menuju pada perubahan nilai-nilai yang demokratis tersebut mengandung perubahan pemikiran yang revolusioner dan bahkan terkadang di lalui sampai dengan terjadi revolusi fisik. Oleh karena itu, jika negara sudah menyatakan diri siap menjadi negara demokrasi apalagi negara tersebut membuka diri terhadap nilai-nilai liberalisme, maka negara dan sistem pemerintahannya harus benar-benar kuat (“strong leader and strong government”). Sebab negara yang menganut demokrasi liberal, maka akan diikuti oleh tata nilai yang lebih bebas pula, terkadang menginginkan kecenderungan bebas nilai. Namun jika kondisi masyarakat belum siap berdemokrasi, seperti di Indonesia, untuk menerapkan konsep demokrasi memerlukan waktu dan pengorbanan tidak hanya dari masyarakatnya tapi juga dari pihak pemerintahnya. Sebagai contoh penerapan demokrasi di Indonesia, meskipun secara politik sudah berdemokrasi, misalnya dari aspek sistem kepartaian menganut multi partai, telah menyelenggarakan pemilu secara rutin lima tahunan, pembagian kekuasaan sudah sesuai dengan teori trias politika, sistem peradilan yang bebas juga sudah diterapkan, akan tetapi tata nilai demokrasi ternyata belum diikuti dalam penyelenggaraan di birokrasi pemerintahan. Fenomena praktek demokrasi yang belum berjalan baik di masyarakat maupun di kalangan aparatur birokrasi, secara empiris dapat terlihat, misalnya perilaku masyarakat yang tidak terkontrol dan terkendali dengan baik yang masih menimbulkan tindakan anarki seperti yang pada akhir-akhir ini terjadi di banyak kota dalam berbagai peristiwa, misalnya; penggusuran, demo-demo mahasiswa, PKL, eksekusi pengadilan, pemilukada, sepak bola, dan lain-lain. Demikian pula sikap dan tindakan pemerintah dalam menghadapi demo PKL, penggusuran, seringkali berakhir dengan bentrok fisik antara aparat pemerintah dengan masyarakatnya, karena tindakan pemerintah yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis.[4]
B. Rumusan Masalah
1.  Apa yang dimaksud demokrasi?
2.  Apa saja macam-macam demokrasi dan kriteria yang dijadikan sebagai unsur nilai-nilai demokrasi itu?
3.  Apa alasan negara ingin melakukan transisi demokrasi dan bagaimana pelaksanaan transisi demokrasi di Indonesia?
4.  Bagaimanakah kehidupan yang demokratis dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Pengertian demokrasi secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu “demos” yang berarti rakyat, dan “kratos” berarti kekuasaan atau “berkuasa” dengan kata lain demokrasi yaitu rakyat yang berkuasa atau “government of the rule by the people” (Miriam Budiarja, 1977).[5] Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada di tangan rakyat.[6] Secara historis di Yunani Kuno, Romawi, dan Italia “kata demokrasi” disebut dengan istilah “Pemerintahan Rakyat”. Dengan penggunaan istilah pemerintahan rakyat orang Yunani seperti kita lihat, telah menciptakan istilah “demokrasi”. Sedang orang Romawi berdasarkan bahasa asli Latin mereka menamakan pemerintahannya dengan nama “Republik”, kemudian orang Italia memberikan nama “pemerintahan rakyat” yang terdapat di beberapa kota disebut “Negara Kota” mereka (Robert A. Dahl, 1999).[7]
Hakikat demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat yang diwujudkan dalam kelembagaan negara. Sehingga demokrasi menjadi harapan dan mungkin impian bagi sebagian masyarakat, barangkali sebagian kata demokrasi dianggap dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat baik persoalan mengenai konflik antara masyarakat dengan negara atau sebaliknya dan bahkan antar kelompok dalam masyarakat bisa diselesaikan dengan cara demokrasi. Jadi proses terbentuknya lembaga negara harus sesuai dengan keinginan masyarakat melalui cara-cara demokratis. Persoalannya adalah bagaimana membangun mekanisme kelembagaan yang demokratis tersebut.[8]
Menurut Jean Baechler (1995) bisa menjelaskan secara lebih mengena dalam memberikan ilustrasi tentang makna demokrasi sebagai berikut: “Dalam sejarahnya, demokrasi belum pernah menjadi topik yang begitu hangat seperti sekarang”. Dalam sistem demokrasi yang paling tua dan mapan di Eropa dan Amerika, beberapa warga negara tengah menuntut pelaksanaan demokrasi yang lebih besar, sementara yang lainnya menuntut agar kesenjangan dalam demokrasi dihapuskan. Di negara-negara yang sistem demokrasinya lebih muda, ada kepedulian akan hadirnya lembaga-lembaga yang diperlukan untuk membangun suatu “demokrasi sejati”, yang stabil dan efektif, di tempat-tempat di mana belum sungguh-sungguh berakar, partai-partai oposisi mencita-citakan demokrasi dalam berbagai bentuk. Jadi makna demokrasi lebih memberikan perhatian pada lembaga-lembaga yang diperlukan untuk membangun demokrasi bisa stabil dan efektif dalam mengelola keinginan-keinginan masyarakat. Lazimnya dalam konsep negara modern lembaga kekuasaan terdiri dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.[9]
Pasang surut dan dinamika penerapan demokrasi, telah mengalami berbagai peristiwa sejarah yang dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Hidup berdemokrasi pada kenyataannya memerlukan tidak hanya kesiapan “politik” semata tetapi yang paling esensial adalah kesiapan “kultur” masyarakatnya. Penjelasan tentang demokratis secara realistis dalam arti situasi dan kondisi yang lebih kondusif untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, ditengarai sejak mulai dibuka kran demokrasi tepatnya sejak tahun 1998, yang disebut sebagai era reformasi, merupakan momentum yang baik untuk melakukan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang lebih demokratis. Akan tetapi ketika kran demokrasi dibuka, mengalir deras seperti air bah, para elite politik dan para pemimpin masyarakat, tidak secara serentak melakukan konsolidasi kekuasaan yang lebih institusionalisasi, sehingga kekuasaan yang berada di tangan rakyat bergerak liar tanpa kendali. Bahkan banyak kalangan yang memberikan penilaian terhadap perkembangan politik negeri ini menganggap; “demokrasi sudah kebablasan”. Namun sebagai konsekuensinya pilihan demokrasi liberal yang menjadi kiblatnya demokrasi di Indonesia, sesungguhnya memang harus disikapi dengan pikiran jernih dan kepala dingin, sehingga jika terjadi seperti “shock culture”, yang menyebabkan sikap dan perilaku “euphoria”, pada dasarnya harus dipelakukan dengan tindakan yang arif dan bijaksana. Kesiapan menerapkan demokrasi bagi bangsa Indonesia dimulai dari para pemimpin dan elite politik dan masyarakatnya. Membangun perilaku dan budaya politik yang demokratis terutama bagi generasi mudanya yang pada akhir-akhir ini dalam melakukan demonstrasi, cenderung tidak sopan, liar dan tanpa perasaan, sebenarnya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Mereka juga anak-anak bangsa yang juga nantinya sebagai generasi penerus, jika mereka berperilaku yang melanggar tata nilai ketimuran dalam menghargai terhadap orang tua dan para pemimpinnya, sudah barang tentu perlu dibangun budaya politik yang elegan, menjunjung tinggi moralitas dan sportivitas, melalui “pendidikan politik yang tepat”.[10]
Apabila menganalisis fenomena tersebut, diduga kesalahan yang kurang diantisipasi pada saat konsolidasi kekuasaan baik oleh supra dan infra struktural politik, belum dilakukan secara tuntas dalam penataan kelembagaan politik tersebut, sehingga nilai kebebasan yang berada dipusaran masyarakat, masih menjadi bola liar yang sudah mulai sulit dikendalikan, ketika kondisi penegakan hukum lemah. Oleh karena penerapan demokrasi baru bisa berjalan dengan baik dan stabil, membutuhkan kesiapan masyarakatnya dalam menerima, merespon dan mampu melakukan internalisasi nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, persamaan dan keadilan, menjadi budaya dalam sikap dan perilaku masyarakat kearah demokratisasi tersebut yang lebih elegan, tertib dan menjaga etika dan moral. Demikian pula kesiapan kemampuan dan kapasitas birokrasi juga harus kuat dengan didukung oleh kepemimpinan pemerintahan yang “visioner dan demokratis”.[11]
Disamping itu, demokrasi juga membutuhkan konsistensi dalam penegakan hukum dan stabilitas keamanan yang terkendali. Menurut Jeff Heyness (1997) demokrasi yang baik adalah yang bisa diharapkan sebagai demokrasi yang substansional, bukan demokrasi yang formal atau demokrasi permukaan. Demokrasi formal yaitu dimana negara telah mampu membangun tiga pilar kekuasaan yaitu; legislatif, eksekutif dan yudikatif, mampu melaksanakan pemilu secara rutin, teratur, bebas dan adil. Namun hasil demokrasi belum sampai berpengaruh terhadap iklim perubahan terhadap perbaikan masyarakat dari kemiskinan, kesejahteraan masyarakat yang masih timpang dan kesenjangan sosial yang semakin melebar, artinya belum sampai berpengaruh terhadap terwujudnya demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Demikian pula demokrasi permukaan artinya demokrasi yang dilihat secara formal sudah memenuhi syarat demokrasi seperti; sudah ada partai politik lebih dari satu, sudah ada pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, pelaksanaan pemilu diselenggarakan secara rutin. Namun dilain pihak tindakan pemerintah masih menggunakan cara-cara tidak demokratis, seperti pembatasan terhadap media massa bahkan sering dilakukan pemberedelan terhadap media massa, penangkapan terhadap para aktivis tanpa melalui peradilan, bahkan tindakan penculikan dan menghilangkan nyawa para aktivis dan lain-lain. Adapun demokrasi substansial dimaksudkan bahwa penerapan demokrasi membawa pengaruh tidak hanya terhadap penataan kehidupan politik, akan tetapi juga berpengaruh terhadap penataan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan birokrasi pemerintahan.[12]
Dengan demikian, jika demokrasi ingin bisa diwujudkan harus diikuti dengan perubahan tata nilai masyarakat yang sesuai dengan konsep demokrasi yang dikehendaki tersebut. Tata nilai masyarakat yang sudah demokratis tersebut seperti; kebebasan, persamaan, keterbukaan, kontrol dan partisipasi, merupakan modal sosial yang sangat strategis dalam mendorong suksesnya penyelenggaraan pemerintahan. Sebab sudah menjadi kenyataan bahwa dalam setiap pelaksanaan kebijakan pemerintah di semua sektor sangat memerlukan dukungan seluruh masyarakat. Sebagaimana konsep “good governence” yang memberikan landasan prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik melibatkan 3 (tiga) stakeholder yaitu; pemerintah, masyarakat dan sektor dunia usaha (swasta). Konsep tersebut merupakan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, jika dijalankan dengan serius dan konsisten.[13]

 B. Macam-macam Demokrasi
Menurut Jeff Haynes (1997) macam-macam demokrasi yaitu: demokrasi formal, demokrasi substantif dan demokrasi permukaan (façade)[14] dengan penjelasan sebagai berikut:
a)     Demokrasi Formal
Demokrasi formal ditandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas dan adil. Kompetitif biasanya ditandai dengan tidak digunakannya paksaan secara berlebihan oleh negara terhadap masyarakat. Secara teoritis lewat pertanggungjawaban pemerintah terhadap yang diperintah (warga negara) melalui kotak suara, dan ditegakkan “Rule of Law”. Ada kebebasan sipil dan politis yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum.
Istilah demokrasi formal dalam pemikiran masyarakat saat ini mungkin bisa disamakan dengan istilah demokrasi prosedural, artinya bahwa persyaratan formal bagi berjalannya demokrasi sudah terpenuhi. Seperti misalnya: adanya partai politik yang jumlahnya lebih dari 2 (dua), diselenggarakannya pemilu oleh pemerintah secara rutin, dan sebagainya. Namun hasilnya belum bisa memenuhi standar demokrasi yang bermutu atau berkualitas. Dengan kata lain penyelenggaraan pemilu seharusnya dikaitkan dengan kualitas hasil pemilu yaitu wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan yang profesional dan kompeten. Bukan semata-mata yang menjadi tolak ukur berjalannya proses demokrasi hanya melihat prosedurdan formalitas saja, tidak sekedar proses demokrasi telah dijalankan dengan baik. Berdasarkan penjelasan tersebut, jika dilihat kondisi empiris pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini masih bersikap demokrasi formalitas. Sebab hasil pelaksanaan demokrasi belum memberikan suatu standar kepemimpinan nasional dan kelembagaan legislatif yang bisa dibanggakan sesuai harapan masyarakat. Terbukti banyak pemimpin daerah dan anggota legislatif  yang terkena kasus hukum yaitu menjadi tersangka kasus pidana korupsi, baik periode hasil pemilu legislatif, tahun 1999 maupun tahun 2004 serta pemilukada di banyak daerah-daerah di Indonesia.
b)     Demokrasi Permukaan
Demokrasi “permukaan” merupakan hal yang umum di dunia ketiga, tampak luarnya memang demokrasi tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Jika istilah demokrasi permukaan ini dianalogikan dengan situasi dan kondisi kehidupan politik di Indonesia, yaitu lebih tepat situasi di era orde baru. Karena semua kriteria dan nilai demokrasi sudah terpenuhi, namun secara prinsip dalam kehidupan masyarakat lebih menonjol tindakan yang lebih represif dan otoriter dari penguasa dan kurang terjaminnya dalam mengembangkan kebebasan berekspresi, disamping itu terjadi pelanggaran HAM misalnya; melakukan penculikan terhadap aktivis politik dan bahkan sampai saat ini mereka masih dinyatakan “hilang”, sehingga dengan berbagai bentuk tindakan pemerintah Orba pada waktu itu yang otoriter dan represif, membuat kontrol masyarakat lemah. Apabila kontrol masyarakat lemah akan mudah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Dengan demikian demokrasi permukaan dapat dikatakan “demokrasi semu”, seolah-olah demokrasi padahal yang dirasakan masyarakat mencerminkan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai demokrasi.[15]
c)      Demokrasi Substansif (Substantive Democracy)
Demokrasi Substansif memperluas ide demokrasi di luar mekanisme formal. Ia mengintensifkan konsep dengan memberikan penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum publik yang dipilih atas dasar partisipasi kelompok. Ia merupakan pendalaman demokrasi dimana semua warga negara mempunyai akses yang mudah pada proses pemerintahan dan suara di alam pengambilan keputusan secara kolektif. Istilah demokrasi substansif ini memang dikembangkan dalam pemikiran yang lebih memiliki substansi demokrasi, dalam arti tidak hanya pada aspek politiknya saja. Akan tetapi demokrasi subtansial ini sudah mampu memberikan ruang demokrasi yang lebih luas yaitu demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.
Konsep demokrasi seperti yang diuraikan diatas, pada hakikatnya dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dapat menjadi rujukan bagi perubahan perilaku para aparatur birokrasi agar mampu menyesuaikan diri dalam menerapkan konsep yang sesuai dengan kriteria demokrasi itu sendiri. Sehingga iklim mendemokrasikan birokrasi dapat terwujud seiring dengan perubahan paradigma demokratisasi birokrasi bagi para penyelenggara negara atau aparatur birokrasi.

C. Transisi Demokrasi
a)     Alasan Transisi Demokrasi
Menjadi suatu negara demokratis, mensyaratkan negara yang bersangkutan melalui suatu tahapan yang disebut sebagai tahap transisi demokrasi. Tahapan ini akan dialami oleh negara-negara yang diperintah oleh rezim otoriter, sebagai bentuk untuk mencapai kondisi yang lebih demokratis.[16]
 Ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam menimbulkan keinginan suatu negara mengubah dirinya menjadi negara demokratis. Menurut Huntington, faktor ekonomi mempengaruhi demokratisasi gelombang ketiga dengan tiga cara sebagai berikut:[17]
1.      Lonjakan harga minyak dan kendala-kendala Marxis-Leninis menyebabkan merosotnya performa ekonomi yang akhirnya melemahkan rezim otoriter.
2.      Pada tahun 1970-an banyak negara yang telah mencapai tahapan perkembangan ekonomi yang signifikan untuk menjadi landasan ekonomi bagi demokrasi dan melancarkan transisi demokrasi.
3.      Pertumbuhan perekonomian yang cepat di beberapa negara menyebabkan labilnya pemerintahan otoriter dan memaksa mereka untuk melakukan liberalisasi.
Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, faktor perekonomian menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya demokratisasi. Negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika menjadi kiblat negara lain dan menimbulkan anggapan bahwa sebuah negara demokratis memiliki kecenderungan untuk menjadi negara maju.
Selain faktor ekonomi tersebut, keinginan untuk tidak terkucil dari pergaulan dunia internasional juga menjadi faktor yang mendorong banyak negara ingin mendapat pengakuan yang luas tentang statusnya sebagai negara demokratis. Negara yang tidak demokratis cenderung dikucilkan dalam hubungan internasional sehingga negara yang demokratis cenderung memilih untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara yang demokratis karena mereka percaya bahwa sesama negara demokratis tidak akan saling menyerang.[18]
Evolusi pemikiran demokratisasi didominasi oleh literatur tentang tahapan transisi rezim yang harus dilalui suatu negara untuk membangun suatu rezim demokratis. Defenisi tentang demokratisasi cenderung telah disepakati dan mengacu kepada karya Samuel Huntington dalam bukunya The Third Wave of Democratization in the Late Twentieh Century yang memberikan kerangka substantif demokratisasi, yaitu (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) adanya proses transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim demokratis, dan (3) konsolidasi rezim demokrasi.[19]
Proses menuju pembentukan rezim demokratis ini mencakup beberapa tahapan yang dikenal sebagai transisi demokrasi. Kajian transisi demokrasi merupakan salah satu konsentrasi akademik yang berkembang pesat ditandai dengan maraknya kajian-kajian tentang gelombang demokratisasi yang terjadi di Eropa Selatan dan Amerika Latin di akhir dekade 1970-an sampai dekade 1990-an. Studi-studi demokratisasi, seperti yang terlihat pada karya Palma, Diamond, Huntington, Linz, Lipset, Lowenthal, O’Donnel, Przeworksi, Remmer, Schmitter, Share, dan Stepan sangat diilhami oleh arah gelombang demokratisasi ketiga.[20]
Para akademisi sepakat bahwa transisi demokrasi adalah tahap awal proses demokratisasi yang ditandai dengan peningkatan partisipasi publik, liberalisasi politik, peningkatan hak sipil, serta implementasi prosedur-prosedur demokrasi dalam ruang publik. Tahap transisi tersebut di setiap negara terjadi melalui beberapa jalur yang berbeda tergantung dari pra-kondisi demokrasi yang ada di masing-masing negara.
Share dalam bukunya Transition to Democracy and Transition to Througg Transaction mengungkapkan, empat jalur dominan proses transisi yang divergensinya tergantung pada akselerasi demokratisasi serta komitmen politik pemimpin rezim. Berdasarkan dua variabel tersebut, Share membuat empat kategori jalur transisi, yaitu (1) demokratisasi bertahap, (2) transaksi konsesual, (3) transisi revolusioner, dan (4) transisi disintegratif. Upaya pemetaan jalur transisi juga dilakukan oleh Rustow dalam bukunya The Surging Tide of Democracy yang menginisiasi tiga jalur top-down, bottom-up, dan negosiasi, atau Linz dalam bukunya Crisis, Breakdown, and Reequilibrium yang menawarkan dua jalur transisi, yakni reforma dan ruptura, atau Lynn Karl dalam Dilemmas of Democratization in Latin America yang menemukan jalur akar rumput dan jalur elit, serta Stepan dalam Paths Toward Democratization: Theoritical and Comparative Considerations yang juga melihat adanya tiga variasi transisi, yakni demokratisasi oleh rezim, demokratisasi oleh oposisi, dan perang.[21]
Proses demokratisasi lebih identik dengan konflik daripada perdamaian. Mansfield dan Synder memperingatkan bahwa proses demokratisasi di negara yang memiliki legitimasi vertikal yang kecenderung rendah, seperti Indonesia akan diikuti oleh (1) pelebaran spektrum politik, (2) kemunculan kepentingan sesaat yang dapat di negosiasikan di kalangan elit, (3) kompetisi untuk mendapat dukungan massa seluas-luasnya, dan (4) melemahnya otoritas politik pusat. Keempat dampak proses demokratisasi ini cenderung akan membawa masyarakat ke arah konflik horisontal terutama karena institusi politik yang ada tidak dapat mengantisipasi ledakan partisipasi politik yang begitu besar.[22]
Dengan demikian, proses demokratisasi akan cenderung diiringi dengan proses konsolidasi kekuatan yang dapat secara efektif mengelola potensi penggunaan kekerasan. Kompetisi untuk mengelola kekerasan ini akan menghantui proses demokratisasi dan kegagalan institusi politik untuk mengelola kekerasan yang memicu terjadinya perang internal.
           
b)     Pelaksanaan Transisi Demokrasi di Indonesia
Setelah lebih dari 30 tahun Indonesia diperintah oleh rezim Soeharto yang otoriter, Indonesia mulai memasuki tahap transisi menuju ke pemerintahan yang lebih demokratis. Dalam kurun waktu 30 tahun tersebut rakyat Indonesia sangat dibatasi hak-hak politiknya, namun demikian hak-hak ekonomi rakyat pada saat itu cukup terpenuhi sehingga gelombang protes terhadap rezim otoriter yang berkuasa belum mengemuka.[23]
Rakyat mulai memprotes rezim yang berkuasa ketika Indonesia terpengaruh oleh krisis ekonomi regional yang terjadi di paruh kedua dekade 90-an. Tidak terpenuhinya dengan baik kebutuhan ekonomi pokok membuat rakyat mulai melancarkan protes-protes terhadap rezim yang berkuasa, dan protes tersebut kemudian meluas tidak hanya menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun pelaksanaan hak-hak asasi lainnya (misalnya hak politik). Gelombang protes tersebut kemudian berhasil menjatuhkan rezim Soeharto pada bulan Mei 1998. Sesudah itu, Indonesia memasuki tahap transisi yang disertai dengan proses desentralisasi yang menekankan pada otonomi rakyat dan pelaksanaan pemerintahan yang lebih transparan. Proses transisi demokrasi merupakan proses yang rawan karena dalam proses tersebut terjadi perubahan keadaan dari A ke B yang sifatnya irreversible dan mendasar, di mana masing-masing kondisi tersebut memiliki karakter yang statis. Masa transisi demokrasi merupakan tahapan yang memiliki resiko tinggi karena sarat dengan ketidakpastian dan rentan terhadap kekerasan. Dalam tahapan ini, selalu ada kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan kembalinya rezim otoritarian, yang didasari oleh kepentingan kelompok atau karena anggapan bahwa otoritarian merupakan salah satu rezim yang stabil, hal ini terjadi pula di Indonesia. Indonesia berulang kali harus berhadapan dengan hambatan-hambatan menuju proses demokratisasi dalam berbagai dimensi, yakni ekonomi dengan inflasi dan tingginya angka pengangguran, ancaman keamanan melalui teror dan penggunaan kekerasan.[24]
Scolte dalam Civil Society and Democracy in Global Governance menyatakan ada beberapa kondisi yang dapat mendukung kelancaran proses transisi demokrasi dan mengurangi akibat negatif yang ditimbulkan oleh kerawanan proses tersebut. Kehadiran masyarakat sipil diidentifikasi sebagai pilar utama yang dapat membantu kelancaran proses transisi demokrasi, mengingat bahwa demokrasi adalah sebuah kondisi di mana rakyat memiliki suatu kesempatan untuk secara aktif menentukan nasibnya sendiri dengan mengkompromikan hak-hak asasi individu yang mereka miliki.[25] Dalam hal ini, kehadiran masyarakat sipil mampu memberdayakan individu dalam masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya dan menggerakkan politik global ke arah yang lebih partisipatoris.
Martin Griffith dan Terry O’Callaghan dalam bukunya International Realtions: The Key Concepts mengemukakan bahwa kehadiran masyarkat sipil sebagai pilar demokrasi tidak dapat dilepaskan dari hakikat masyarakat sipil itu sendiri. Konsepsi masyarakat sipil mengalami evolusi yang panjang. Masyarakat sipil merupakan sebuah ruang publik di mana penduduk dapat melakukan aktifitas-aktifitas politik secara independen terhadap state. Masyarakat sipil sendiri terdiri dari berbagai organisasi nonpemerintah (Organisasi Masyarakat Sipil) yang kuat untuk mengimbangi negara dan mencegahnya mendominasi aktifitas masyarakat, tanpa menghalangi negara untuk memenuhi perannya sebagai peacekeeper dan arbitrator di antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
Walaupun demikian, kontribusi masyarakat sipil dalam proses transisi demokrasi di Indonesia mulai dipertanyakan ketika kemunculan organisasi masyarakat sipil tersebut diinduksi oleh aktor eksternal yang antara lain berupa lembaga donor internasional. Sama dengan proses munculnya masyarakat sipil di negara berkembang pada umumnya juga, proses kemunculan masyarakat sipil di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh kekuatan eksternal, seperti respons terhadap kebutuhan donor untuk menyalurkan bantuannya dan menyebarkan nilai-nilai demokrasi dan pembangunan yang dianutnya.[26] Berbeda dengan kemunculan masyarakat sipil di Eropa cenderung terjadi karena adanya kekuatan internal yang menginginkan perubahan tatanan sosial politik. Di negara-negara Eropa, rakyat secara sadar membentuk masyarakat sipil untuk melindungi hak dasarnya dari tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, serta berusaha membuat pemerintah mempertimbangkan pertanggungjawaban tindakannya kepada rakyat dalam pemngambilan keputusan. Sementara itu, kemunculan masyarakat sipil di negar-negara dunia ketiga terjadi karena adanya upaya penyebaran gagasan-gagasan neoliberal, melalui suatu konsep yang mendukung suatu proses desentralisasi akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi. Pengaruh lain dari pihak asing adalah pembentukan masyarakat sipil berupa pemberian dana bantuan untuk advokasi dan pembangunan kapasitas masyarakat sipil yang diberikan oleh institusi-institusi internasional karena lemahnya masyarakat sipil di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia.

D. Kehidupan yang Demokratis dalam Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Sejarah dan perkembangan budaya demokrasi di Indonesia jika ditinjau dari segi waktu dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:[27]
1.      Periode Demokrasi Parlementer 1945-1959
2.      Periode Demokrasi Terpimpin 1959-1965
3.      Periode Demokrasi Pancasila 1965-1998
4.      Periode demokrasi dalam orde reformasi 1998-sekarang.
Pada awalnya, penerapan demokrasi lebih terfokus pada bidang politik atau sistem pemerintahan. Wujud penerapannya antara lain dengan penyelenggaraan pemilihan umum, pergantian pemegang kekuasaan pemerintahan, kebebasan menyatakan pendapat, dan lain-lain.[28]
Dalam perkembangannya, konsep demokrasi juga diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, yakni dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya diterapkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kehidupan yang demokratis adalah kehidupan yang melibatkan partisipasi rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat.
Perhatikan isi UUD 1945 pasal 33 berikut ini!
Ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-bear kemakmuran rakyat.
Ayat (4) : Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, kemandirian, serta dengan mejaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Yang perlu diketahui bahwa isi pasal 33 Uud 1945 sebelum diadakan perubahan hanya terdiri dari ayat (1), (2), dan (3) tersebut. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, namun isi-isi ayat-ayat tersebut mengisyaratkan berlakunya demokrasi ekonomi. Hal ini tercermin pada kata-kata: usaha bersama, bersifat kekeluargaan, dan untuk kemakmuran rakyat. Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, muncullah pasal 33 ayat (4) tersebut. Perubahan itu semakin menguatkan berlakunya demokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian di Indonesia.
Untuk memahami makna demokrasi ekonomi, terlebih dahulu kita perlu memahami makna demokrasi. Makna demokrasi yang sangat mendasar adalah partisipasi atau keikutsertaan seluruh rakyat atau warga dalam menentukan kehidupan bersama. Posisi rakyat atau warga bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek dalam kehidupan bersama. Tujuan akhirnya adalah terciptanya kesejahteraan seluruh rakyat atau warga. Demikian pula halnya dalam bidang ekonomi. Persoalannya adalah bagaiman agar rakyat atau warga ikut serta dalam kegiatan ekonomi, baik dalam proses produksi maupun distribusi. Keikutsertaan rakyat dalam proses produksi bukan semata-mata sebagai alat produksi atau buruh yang bekerja pada majikan dengan upah rendah. Mereka harus ikut menikmati keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi itu dengan memperoleh jaminan hidup yang layak. Dengan demikian akan tercipta kesejahteraan rakyat.
Salah satu bentuk kegiatan badan usaha yang bersifat demokratis adalah koperasi. Sejalan dengan semangat demokrasi, koperasi terkenal dengan semboyannya “dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota”. Dalam koperasi, pemegang kekuasaan tertinggi adalah rapat anggota. Rapat anggota berwenang meminta keterangan dan pertanggungjawaban pengurus maupun pengawas dalam menjalankan tugasnya. Rapat anggota itu diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.[29]
Dalam pasal 5 Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang koperasi dinyatakan tentang prinsip-prinsip koperasi sebagai berikut.
1.      Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2.      Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3.      Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing
4.      Pemberian balas jasa terbatas terhadap modal
5.      Kemandirian.
Selanjutnya, penerapan konsep demokrasi dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan nasional kita dari dulu hingga sekarang sebenarnya memiliki visi atau pandangan yang demokratis. Perhatikan isi Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berikut ini!
1.      Pasal 3 menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupa bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
2.      Pasal 4 ayat (1) menyatakan: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
3.      Pasal 5 menyatakan tentang jaminan hak untuk memperolrh pendidikan bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Perhatikan isi pasal 5 ayat (1) hingga (5) berikut ini![30]
Ayat (1)           : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Ayat (2)           : Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Ayat (3)           : Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Ayat (4)           : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Ayat (5)           : Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

4.      Pasal 8 menyatakan: “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”.
5.      Pasal 54 ayat (1) menyatakan: “Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”.
6.      Pasal 55 ayat (1) menyatakan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat”.


III. PENUTUP
A. Kesimpulan
            Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan sebelumnya yaitu:
v  Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (partisipasi).[31]
v  Macam-macam demokrasi, yaitu: demokrasi formal, demokrasi substantif dan demokrasi permukaan.
v  Ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam menimbulkan keinginan suatu negara mengubah dirinya menjadi negara demokratis. Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, faktor perekonomian menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya demokratisasi.
v  Dalam perkembangannya, konsep demokrasi juga diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, yakni dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya diterapkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kehidupan yang demokratis adalah kehidupan yang melibatkan partisipasi rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat.

b. Saran
Kita memang telah menganut budaya demokrasi dan bahkan telah dipraktekkan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudayakannya.
Kita perlu membudayakan budaya demokrasi sebagai penghayatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang telah menjadi kebiasaan dan mendarah daging diantara warga negara. Dengan begitu, setiap warga negara dan pemerintah tidak akan melanggar nilai-nilai demokrasi dengan mudah.

DAFTAR PUSTAKA
Istianto, Bambang. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Widjajanto, Andi, et al., eds. 2007. Transnasionalisasi Demokrasi. Cet 1;   Yogyakarta:    LkiS Yogyakarta.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga Edisi Bahasa        Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sundawa, Dadang, et al., eds. 2008. Contextual Teaching and Learning      PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SMP/MTs Kelas VIII Edisi 4. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Tim Abdi Guru. 2005. Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VIII. Jakarta:   Erlangga.


                [1]Andi Widjajanto, et. al., eds., Transnasionalisasi Masyarakat Sipil (Cet I; Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2007), h. 67.
                [2]Ibid.
                [3]Bambang Istianto, Demokratisasi Birokrasi Edisi 1 (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 17. 
                [4]Ibid., h. 126-127.
                [5]Ibid., h. 18.
                [6]Dadang Sundawa, et al., eds., Contextual Teaching and Learning PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SMP/MTs Kelas VIII Edisi 4 (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 104.
                [7]Bambang Istianto, loc. cit.
                [8]Ibid., h. 18-19.
                [9]Ibid., h. 19.
                [10]Ibid., h. 127.
                [11]Ibid., h. 127-128.
                [12]Ibid.
                [13]Ibid., h. 128.
                [14]Ibid., h. 24
                [15]Ibid., h. 25.
                [16]Andi Widjajanto, op. cit., h. 69.
                [17]Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga Edisi Bahasa Indonesia, terj. Asril Marjohan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 72-73.
                [18]Andi Widjajanto, loc. cit.
                [19]Ibid., h. 69-70.
                [20]Ibid.
                [21]Ibid., h. 71.
                [22]Ibid., h. 75.
                [23]Ibid., h. 76.
                [24]Ibid., h. 75-78.
                [25]Ibid., h. 3.
                [26]Ibid., h. 79.
                [27]Tim Abdi Guru, Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 54.
                [28] Dadang Sundawa, et al., eds., op. cit., h. 111.
                [29]Ibid., h. 112-113.
                [30]Ibid.
                [31]Tim Abdi Guru, op. cit., h. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar