Minggu, 15 September 2013

Otonomi Daerah

Mata Kuliah  : Pendidikan agama Islam
Kelas              : Manajemen A3
Semester       : 2 (Genap)
Tugas             : Makalah Final

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Oleh:
                                        ILMAWATI
                                        NIM. 1211557


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2012


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan menurunnya penerimaan negara dari minyak dan pajak minyak pada tahun 1983/84 dan berdampak pada menurunnya anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 1984/85, maka timbullah kesadaran akan menurunnya kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan subsidi kepada pemerintah daerah maupun dalam membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah. Untuk itu maka pemerintah pusat bertekad untuk memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah agar melemahnya subsidi dari pemerintah pusat tidak mengganggu perkembangan ekonomi maupun jalannya pemerintahan di daerah. Dengan kata lain penurunan penerimaan Negara tersebut telah mendorong meningkatnya pelaksanaan otonomi daerah yang dibarengi dengan sistem desentralisasi pemerintahan dan keuangan.
Dalam rangka pengembangan sistem otonomi daerah, pada masa pemerintahan Presiden Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunannya telah muncul Undang-Undang Otonomi Daerah yang mencakup dua macam undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 22, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25, Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan undang-undang otonomi daerah, itu berarti bahwa ideologi politik dan struktur pemerintahan negara akan lebih bersifat desentralisasi dibanding dengan struktur pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralisasi.[1]
Herbert Simpson, pakar politik peraih penghargaan hadiah Nobel menuliskan ukuran untuk menerapkan sentralisasi atau desentralisasi adalah efisien. Di Indonesia tidak asing lagi dengan masalah desentralisasi. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 pun pada intinya menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang desentralisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Pasal 11) disebutkan bahwa otonomi daerah ditekankan di Daerah Tingkat II dan bahwa itu telah menjadi kemauan politik (political will).[2] Ia perlu dititik ulang (kilas balik) hanya pada tingkat sejauh mana perimbangan antara konsentrasi di satu sisi dan meningkatkan kebutuhan akan desentralisasi di sisi lain.[3]

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sistem desentralisasi (otonomi daerah) itu?
2.      Apakah keuntungan dan kerugian dari sistem otonomi daerah?
3.      Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menjadi tidak optimal?
4.      Bagaimanakah cara mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah?

II. PEMBAHASAN
A. Sistem Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Untuk merealisasikan keinginan desentralisasi guna mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat tersebut, pada tahun 1997 telah lahir Undang-Undang Republik Indonesia No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disusul dengan lahirnya peraturan pemerintah untuk pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 19/1997 tentang pajak daerah, Peraturan Pemerintah No. 20/1997 tentang Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 21/1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah. DPD mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan bekenaan dengan otonomi daerah, yang dalam penyelenggaraan pemerintah di Indoonesia diimplementasikan melalui Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999.[4]
Dengan demikian, siap sudah bagi Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melaksanakan sistem pemerintahan yang meletakkan peranan pemerintah daerah pada posisi yang sangat krusial dalam meningkatkan kesejahteraan warganya. Peranan pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah yang utama di samping dana perimbangan yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam akan sangat menentukan kekuatan dari APBD.[5]
Undang-Undang Nomor 22, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 7, menegaskan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan pembangunan ekonomi secara makro. Di samping itu, daerah berwenang mengelola sumber daya nasional di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan hidup. Di wilayah laut, kewenangan daerah meliputi: a) eksplorasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut (12 mil dari garis pantai), pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan daerah kabupaten atau kota hanya sepertiga dari batas laut daerah provinsi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Bab VIII, Pasal 78 dinyatakan bahwa penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah (Pusat) di Daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Seperti telah disinggung di atas bahwa tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah adalah menyediakan barang dan jasa yang dampaknya bersifat lebih terbatas pada penduduk di suatu wilayah tertentu, seperti dalam hal penerangan jalan, mobil pemadam kebakaran, penyediaan lampu lalu lintas, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan penyediaan barang publik yang mempunyai dampak sangat luas seperti pertahanan dan keamanan, keadilan serta kesehatan masyarakat, sebaiknya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Demikian pula seperti telah diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa sumber pendapatan Daerah terdiri dari : a) Pendapatan asli daerah yang berasal dari retribusi Daerah, hasil perusahaan milik Daerah, b) dana perimbangan, c) pinjaman Daerah, dan d) dan lain-lain pendapatan asli Daerah yang syah. Adapun materi pokok yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Bagian Ketiga, Pasal 6 yang menyatakan bahwa dana perimbangan terdiri dari: a) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, b) Dana alokasi umum, dan c) Dana alokasi khusus.[6]
Selanjutnya, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kemudian yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.[7] Selain itu, otonomi daerah juga dapat dipandang sebagai cara untuk mewujudkan secara nyata penyelenggaraan pemerintah yang efektif, efisien dan berwibawa guna mewujudkan pemberian pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan otonomi daerah juga merupakan keterikatan yang kuat antara daerah yang satu dengan yang lainnya, di samping menumbuhkembangkan semangat kebersamaan dalam simpul Negara Kesatuan Republik Indonesia.[8]
Adapun yang menjadi tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah: a) memberdayakan masyarakat, b) menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, c) meningkatkan peran serta masyarakat, dan d) mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Disamping itu, perlu pula diketahui bahwa di sisi lain ada sistem pemerintahan yang sentralisasi di mana pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat dengan alasan di antaranya adalah: a) untuk memelihara aspek pemerataan antar daerah, b) kemampuan administrasi di banyak pemerintah daerah masih lemah, c)  masih terdapat perbedaan yang tinggi dalam kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah, d) untuk mengurangi gerakan separatis, dan e) untuk perencanaan nasional dalam pembangunan sosial dan ekonomi (prasarana komunikasi, transportasi, irigasi, dll.)
Untuk pemahaman sistem pemerintahan perlu dipahami perbedaan pengertian antara istilah desesntralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada daerah dan menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan dekonsentrasi artinya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah.[9]
Dalam kaitannya dengan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi dikembangkan pula sistem keuangan daerah yang mendukung yaitu bahwa: (1) penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dibiayai atas beban APBD, dan (2) penyelenggaraan tugas pemerintah pusat di daerah dibiayai atas beban APBN.

B. Keuntungan dan Kerugian Dari Sistem Otonomi Daerah
a)      Keuntungan dari sistem otonomi daerah
Sekelompok orang percaya bahwa pemerintah daerah akan bekerja lebih efisien daripada pemerintah pusat, sedangkan kelompok lainnya lagi percaya terhadap sebaliknya yaitu bahwa pemerintah pusat akan bekerja lebih efisien daripada pemerintah daerah dalam menyediakan barang-barang publik. Namun sebenarnya akan lebih tepat bila dikatakan bahwa ada sebagian kegiatan yang lebih efisien bila dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan ada kegiatan lain yang lebih efisien bila dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, kita harus hati-hati dalam menentukan kegiatan macam apa yang sebaiknya diserahkan kepada pemerintah pusat dan kegiatan apa pula yang seyogyanya diserahkan kepada pemerintah daerah.
     Dalam teori keuangan negara dan berbagai pembicaraan mengenai peranan pemerintah dalam perekonomian, telah sering disinggung bahwa barang publik dan eksternalitas akan lebih baik dikelola oleh pemerintah. Tetapi sekarang harus dilihat dimensi dari barang publik dan eksternalitas itu dalam kaitannya dengan ruang geografi (spatial). Sebagai misal, pemerintah menyediakan polisi lalu lintas di Kabupaten Banyumas; maka usaha tersebut akan memberikan manfaat kepada penduduk. Kabupaten Banyumas lebih banyak daripada penduduk kabupaten lainnya. Manfaat pelayanan jasa polisi lalu lintas itu akan terpusat terutama di kabupaten Banyumas dan tidak untuk penduduk di seluruh Indonesia. Jadi manfaat tersebut akan semakin berkurang dengan semakin jauhnya jarak suatu daerah dari pusat lokasi kegiatan polisi lalu lintas tersebut berada. Barang publik yang manfaatnya terpusat secara geografis disebut sebagai barang publik lokal (local public goods), yang dibedakan dengan barang publik nasional (national publik goods) seperti dalam hal pertahanan nasional.
Demikian pula terdapat eksternalitas yang sifatnya lokal seperti pencemaran terhadap sumber daya air sungai atau danau tertentu yang dampaknya lebih dirasakan oleh masyarakat atau lingkungan yang terdekat atau yang mengguanakan sungai atau danau tersebut. Sesungguhnya ada suatu masyarakat yang lebih menginginkan pelayanan polisi yang baik dan aman, tetapi ada pula masyarakat yang lebih menginginkan adanya sebuah taman kota yang indah dan nyaman. Ada pula masyarakat yang lebih menghendaki adanya sekolah pemerintah yang bagus untuk pendidikan anak-anak mereka. Kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda itu akan dapat dipenuhi dengan lebih baik dan efisien oleh pemerintah daerah dan bukan pemerintah pusat. Pemerintah pusat akan lebih baik dalam menyediakan pertahanan dan keamanan nasional dengan tentara yang kuat dan berwibawa, tetapi pemerintah pusat akan kurang efisien dalam menyelenggarakan jasa kepolisian dan pemeliharaan taman kota. Dengan kata lain, sistem pemerintahan dengan otonomi daerah akan lebih mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan preferensi (keinginan) masing-masing masyarakat.[10]
     Selanjutnya dalam negara di mana terdapat mobilitas penduduk yang tinggi akan dimungkinkan adanya perpindahan penduduk sehingga penduduk menjadi homogen keinginannya. Penduduk yang lebih menyukai kondisi lingkungan yang bersih dan taman yang indah akan pindah dan kumpul di suatu daerah yang pemerintah daerahnya lebih banyak memperhatikan tentang kualitas lingkungan yang baik, mungkin dengan mengenakan peraturan-peraturan lingkungan yang ketat. Sedangkan bagi daerah yang memiliki lembaga pendidikan (sekolah atau universitas) yang baik akan dihuni oleh para orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah yang sedang memerlukan pendidikan. Demikian pula sebenarnya masih banyak kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi lokasi domisili penduduk seperti: tersedianya lapangan kerja yang luas; adanya kehangatan dan keramahan hubungan antar tetangga dan teman; kondisi iklim yang sejuk dan menyenangkan; pengenaan pajak penjualan yang tidak terlalu berat; dan masih banyak faktor lain lagi.
     Keuntungan yang lain dengan adanya sistem otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri. Proses politik dalam masyarakat yang lebih sempit akan lebih cepat dan efisien daripada dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakatnya akan lebih sedikit kekurangan atau kesalahan yang akan dibuat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
     Selanjutnya dengan otonomi daerah akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang dapat dilakukan. Karena banyak pemerintah daerah yang sifatnya otonom, akan banyak pula cara dan sistem administrasi maupun ekonomi yang berbeda-beda yang diterapkan pada daerah yang berbeda. Akibatnya seperti banyak eksperimen dan tentu ada yang berhasil dengan baik tetapi ada pula yang kurang berhasil atau bahkan ada pula yang gagal. Suatu keberhasilan atau kegagalan merupakan suatu invasi yang nantinya dapat ditiru oleh daerah-daerah lain yang juga ingin mendapatkan keberhasilan tentunya dengan mengingat kondisi daerah masing-masing. Jadi dalam suatu negara segala sesuatu tidak harus seragam secara nasional, melainkan justru dapat beraneka ragam dan bervariasi.[11]
Sebagai suatu kesimpulan dapat dinyatakan sekali lagi bahwa dengan sistem otonomi daerah, masyarakat dapat menyediakan jasa pelayanan yang berbeda-beda dengan tingkatan yang berbeda pula yang sesuai dengan preferensi masyarakat yang bersangkutan, penduduk akan bebas berpindah tempat tinggal ke daerah yang sesuai dengan keinginannya. Juga proses politik akan lebih cepat, sederhana dan efisien dengan pemerintah daerah; dan akhirnya eksperimen dan inovasi lebih banyak terjadi dengan sistem otonomi daerah. Pendekatan yang berbeda-beda dalam mengatasi masalah ekonomi yang ada akan dapat dibandingkan secara langsung antara pemerintah daerah yang semacam.
b)      Kerugian sistem otonomi daerah
Dalam hal-hal tertentu, pemerintah daerah akan kurang efektif dan efisien dalam mengatasi permasalahan yang ada. Sebagai misal bila pemerintah daerah diminta untuk menyediakan barang publik nasional seperti pertahanan dan keamanan nasional, masalah pemerataan pengahasilan (redistribusi penghasilan) dan pemecahan masalah ekonomi makro, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.[12]
a.       Dalam hal pertahanan dan keamanan apabila hal ini diserahkan kepada pemerintah daerah, tentu setiap daerah akan bertanggung jawab terhadap daerahnya masing-masing dalam menghadapi serangan dari luar. Apabila kita menjumlahkan semua usaha pertahanan masing-masing daerah tersebut pasti akan kurang memadai. Misalnya kalau suatu daerah, misalnya DKI Jakarta mengusahakan sebuah peluru kendali, manfaatnya tentu akan dinikmati oleh penduduk daerah lain. Demikian pula dalam menentukan pembiayaannya, penduduk DKI hanya akan melihat manfaat yang diterima oleh mereka sendiri tanpa memperhatikan manfaat yang diterima oleh penduduk dari daerah lain. Akibatnya ada kasus pembonceng bebas (free rider problem), sehingga orang akan kurang bersedia untuk membayar dan akan terjadi kekurangan biaya untuk usaha peluru kendali tersebut. Dampaknya aspek pertahanan dan keamanan tidak efektif dan efisien dibiayai. Tentunya hal ini akan berbeda jika dipertimbangkan oleh seluruh penduduk Indonesia sebagai suatu bangsa yang harus memertahankan kesatuannya menghadapi serangan dari luar. Jadi penyediaan barang publik yang manfaatnya dinikmati oleh setiap penduduk dalam semua masyarakat harus diusahakan oleh pemerintah pusat. Memang dalam hal tertentu ada pula kebijakan lingkungan yang dampaknya dirasakan oleh lebih dari satu daerah provinsi atau kabupaten, sehingga menghendaki kebijakan itu dibicarakan bersama oleh pemerintah provinsi atau oleh pemerintah pusat. Jadi tidak semua jasa publik dapat disediakan secara efisien oleh pemerintah.[13]
b.      Dalam hal redistribusi pendapatan, pemerintah daerah juga tidak akan efisien dalam mengusahakannya. Redistribusi pendapatan biasanya ditempuh dengan menggunakan pajak pada kelompok kaya dengan memberikan subsidi kepada kelompok berpenghasilan rendah. Apabila hal ini dilaksanakan oleh daerah seperti Kabupaten Kutai yang kaya itu, maka apa yang akan terjadi. Kelompok kaya mungkin akan pindah ke daerah di mana perpajakan dan pungutan tidak terlalu tinggi, dan orang-orang berpenghasilan rendah akan pindah ke Kabupaten Kutai dengan maksud untuk mendapatkan subsidi atau bantuan sosial. Akibatnya pendapatan per kapita di Kabupaten Kutai akan turun, dan program kesejahteraan sosial tidak dapat dilaksanakan lagi. Jadi kalau semua orang kaya pindah ke daerah lain karena takut pajak dan pungutan di daerah yang bersangkutan maka program redistribusi pendapatan tidak berhasil. Oleh karena itu, program redistribusi pendapatan harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat akan dapat membantu semua orang miskin di semua daerah dan memungut pajak terhadap semua orang berpenghasilan tinggi di negara tersebut. Dengan demikian tidak akan ada pelarian atau perpindahan penduduk antar daerah. Memang dimungkinkan adanya pelarian atau perpindahan penduduk ke negara lain. Namun hal ini lebih kecil kemungkinannya daripada orang pindah dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Dalam hal khusus yang berkaitan dengan pemilikan tanah yang umumnya dikuasai oleh orang kaya, maka pajak atas tanah (Pajak Bumi dan Bangunan) merupakan alat yang baik untuk redistribusi pendapatan karena tidak mungkin pemilik tanah atau rumah lalu menjual rumahnya dan pindah ke daerah lain yang pajaknya lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh menurunnya harga tanah dan bangunan bila semua orang kaya akan menjual kekayaan mereka. Oleh karena kebijakan untuk pindah ke daerah lain mungkin akan dihindari.
c.       Dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi makro, jelas pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakannya; khususnya yang berkaitan dengan kebijakan moneter. Pemerintah daerah tidak dapat menambah atau mengurangi jumlah uang beredar. Demikian pula kebijakan pemerintah daerah dalam bidang kesempatan kerja dan harga tidak akan banyak berpengaruh dalam suatu daerah. Setiap kebijakan fiskal (perpajakan dan pengeluaran) tentu akan ditanggapi dengan kepindahan subyek pajak ke daerah lain yang lebih menguntungkan. Jadi pemerintah pusatlah yang harus bertanggung jawab terhadap kebijakan stabilisasi ekonomi secara makro.[14]
Dari uraian di atas tidak dimaksudkan untuk memilih apakah sistem pemerintahan sebaiknya sepenuhnya dilakukan dengan sentralisasi atau sepenuhnya dengan desentralisasi (otonomi daerah), tetapi dimaksudkan untuk melihat isu yang sebenarnya yaitu menentukan fungsi apa sajakah yang paling baik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan fungsi mana yang secara efisien akan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sistem yang optimal tentunya akan dipercayakan kepada sistem campuran dari kedua bentuk sistem pemerintahan tersebut, di mana masing-masing menjalankan fungsi yang dapat dikerjakan dengan paling baik. Pembicaraan ini akan memberikan bimbingan dalam menentukan tingkat pemerintahan mana yang paling tepat untuk melaksanakan kebijakan tertentu. Perlu pula disadari bahwa masih banyak kebijakan yang sifatnya “di antara” ke duanya sehingga perlu kombinasi dalam sistem penanganannya seperti dalam kasus pencemaran lingkungan yang menyangkut beberapa daerah.[15]

C. Hal-Hal Yang Menyebabkan Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Menjadi Tidak Optimal[16]
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
1.      Lemahnya pengawasan maupun check and balances
Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi Daerah
2.      Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3.      Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, dan juga menguras sumberdaya alam yang tersedia.
4.      Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri.
5.      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi karena Otonomi Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi.
6.      Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sumber Daya Manusia yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik dan penyelewengan serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.

D. Cara Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah[17]
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan Otonomi Daerah, yaitu:
1.      Manusia selaku pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia yang berkualitas.
2.      Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus tersedia dengan cukup.
3.      Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
4.      Organisasi dan manajemen harus baik.

Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai cara, seperti:
1.      Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme pengawasan ini. Pengawasan ini dimaksudkan pula, agar Daerah selalu melakukan tugas kewajibannya sebaik-baiknya, sehingga terjaminlah kepentingan negara dan rakyat di daerah. Pengawasan adalah sebagian dari kewenangan pemerintahan secara menyeluruh, karena pada tingkat terakhir pemerintah pusat-lah yang harus bertanggung jawab mengenai seluruh penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah.[18]
2.      Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3.      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.


III. PENUTUP
A. Kesimpulan
·         Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kemudian yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
·         Tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah: a) memberdayakan masyarakat, b) menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, c) meningkatkan peran serta masyarakat, dan d) mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
·         Keuntungan dari sistem otonomi daerah, diantaranya, masyarakat dapat menyediakan jasa pelayanan yang berbeda-beda dengan tingkatan yang berbeda pula yang sesuai dengan preferensi masyarakat yang bersangkutan, penduduk akan bebas berpindah tempat tinggal ke daerah yang sesuai dengan keinginannya. Juga proses politik akan lebih cepat, sederhana dan efisien dengan pemerintah daerah; dan akhirnya eksperimen dan inovasi lebih banyak terjadi dengan sistem otonomi daerah. Pendekatan yang berbeda-beda dalam mengatasi masalah ekonomi yang ada akan dapat dibandingkan secara langsung antara pemerintah daerah yang semacam.
·         Untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai cara, seperti: 1) Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah; 2) Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya.

B. Saran
Dari uraian di atas tidak dimaksudkan untuk memilih apakah sistem pemerintahan sebaiknya sepenuhnya dilakukan dengan sentralisasi atau sepenuhnya dengan desentralisasi (otonomi daerah), tetapi dimaksudkan untuk melihat isu yang sebenarnya yaitu menentukan fungsi apa sajakah yang paling baik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan fungsi mana yang secara efisien akan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sistem yang optimal tentunya akan dipercayakan kepada sistem campuran dari kedua bentuk sistem pemerintahan tersebut, di mana masing-masing menjalankan fungsi yang dapat dikerjakan dengan paling baik. Pembicaraan ini akan memberikan bimbingan dalam menentukan tingkat pemerintahan mana yang paling tepat untuk melaksanakan kebijakan tertentu. Perlu pula disadari bahwa masih banyak kebijakan yang sifatnya “di antara” ke duanya sehingga perlu kombinasi dalam sistem penanganannya seperti dalam kasus pencemaran lingkungan yang menyangkut beberapa daerah.

Daftar Pustaka
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html

Suparmoko, M. Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Cet I; Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2002

Widjaja, A.W. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Cet. I; Jakarta: CV Rajawali, 1992.

Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Cet. II; Jakarta: MedPress, 2008.

Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif. Cet. III; Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002.

Soejito, Irwan. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1983.
 





[1] M. Suparmoko, Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah (Cet I; Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2002), h. 15-16.
[2] A.W. Widjaja, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II (Cet. I; Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. 18.
[3] Ibid., h. 3
[4] Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Cet. II; Jakarta: MedPress, 2008), h. 95.
[5] M. Suparmoko, op. cit., h. 17.
[6] Ibid., h. 
[7] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif (Cet. III; Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002), h. 11-12. 
[8] A.W. Widjaja, op. cit, h. 32.
[9] Ibid., h. 13.
[10] M. Suparmoko, op. cit., h. 19-20.
[11] Ibid, h. 20-21.
[12] Ibid.
[13] Ibid., h.22.
[14] Ibid., h.23.
[15] Ibid.
[16] http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
[17] http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
[18] Irwan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah (Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.10-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar