Mata
Kuliah : Pendidikan agama Islam
Kelas : Manajemen A3
Semester : 2 (Genap)
Tugas : Makalah Final
PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Oleh:
ILMAWATI
NIM.
1211557
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2012
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dengan
menurunnya penerimaan negara dari minyak dan pajak minyak pada tahun 1983/84
dan berdampak pada menurunnya anggaran pendapatan dan belanja negara tahun
1984/85, maka timbullah kesadaran akan menurunnya kemampuan pemerintah pusat
dalam memberikan subsidi kepada pemerintah daerah maupun dalam membiayai
proyek-proyek pemerintah di daerah. Untuk itu maka pemerintah pusat bertekad
untuk memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam berusaha meningkatkan
pendapatan asli daerah agar melemahnya subsidi dari pemerintah pusat tidak
mengganggu perkembangan ekonomi maupun jalannya pemerintahan di daerah. Dengan
kata lain penurunan penerimaan Negara tersebut telah mendorong meningkatnya
pelaksanaan otonomi daerah yang dibarengi dengan sistem desentralisasi
pemerintahan dan keuangan.
Dalam rangka
pengembangan sistem otonomi daerah, pada masa pemerintahan Presiden Habibie
dengan Kabinet Reformasi Pembangunannya telah muncul Undang-Undang Otonomi
Daerah yang mencakup dua macam undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 22,
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25, Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
undang-undang otonomi daerah, itu berarti bahwa ideologi politik dan struktur
pemerintahan negara akan lebih bersifat desentralisasi dibanding dengan
struktur pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralisasi.[1]
Herbert
Simpson, pakar politik peraih penghargaan hadiah Nobel menuliskan ukuran untuk
menerapkan sentralisasi atau desentralisasi adalah efisien. Di Indonesia tidak
asing lagi dengan masalah desentralisasi. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 pun
pada intinya menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang
desentralisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Pasal 11) disebutkan
bahwa otonomi daerah ditekankan di Daerah Tingkat II dan bahwa itu telah
menjadi kemauan politik (political will).[2] Ia
perlu dititik ulang (kilas balik) hanya pada tingkat sejauh mana perimbangan
antara konsentrasi di satu sisi dan meningkatkan kebutuhan akan desentralisasi
di sisi lain.[3]
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah sistem desentralisasi (otonomi
daerah) itu?
2.
Apakah keuntungan dan kerugian dari sistem
otonomi daerah?
3.
Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menjadi tidak optimal?
4.
Bagaimanakah cara mengoptimalkan pelaksanaan
otonomi daerah?
II. PEMBAHASAN
A. Sistem Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Untuk merealisasikan keinginan desentralisasi
guna mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat tersebut, pada
tahun 1997 telah lahir Undang-Undang Republik Indonesia No. 18/1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disusul dengan lahirnya peraturan pemerintah
untuk pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 19/1997 tentang pajak
daerah, Peraturan Pemerintah No. 20/1997 tentang Retribusi Daerah, dan
Peraturan Pemerintah No. 21/1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan
peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan
lahirnya undang-undang otonomi daerah. DPD mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan
bekenaan dengan otonomi daerah, yang dalam penyelenggaraan pemerintah di
Indoonesia diimplementasikan melalui Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dan UU
No.25 Tahun 1999.[4]
Dengan demikian, siap sudah bagi Pemerintah
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melaksanakan sistem pemerintahan yang
meletakkan peranan pemerintah daerah pada posisi yang sangat krusial dalam
meningkatkan kesejahteraan warganya. Peranan pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatan daerah yang utama di samping dana perimbangan yang diperoleh dari hasil
eksploitasi sumber daya alam akan sangat menentukan kekuatan dari APBD.[5]
Undang-Undang Nomor 22, Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 7, menegaskan bahwa kewenangan daerah
mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar
negeri, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan pembangunan ekonomi secara
makro. Di samping itu, daerah berwenang mengelola sumber daya nasional di
wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan hidup. Di
wilayah laut, kewenangan daerah meliputi: a) eksplorasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut (12 mil dari garis
pantai), pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan daerah kabupaten atau kota
hanya sepertiga dari batas laut daerah provinsi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22
Tahun 1999 Bab VIII, Pasal 78 dinyatakan bahwa penyelenggaraan tugas Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibiayai dari dan atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sedangkan penyelenggaraan tugas
Pemerintah (Pusat) di Daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Seperti telah disinggung di atas bahwa tugas
dan kewajiban Pemerintah Daerah adalah menyediakan barang dan jasa yang
dampaknya bersifat lebih terbatas pada penduduk di suatu wilayah tertentu,
seperti dalam hal penerangan jalan, mobil pemadam kebakaran, penyediaan lampu
lalu lintas, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan penyediaan barang publik yang
mempunyai dampak sangat luas seperti pertahanan dan keamanan, keadilan serta
kesehatan masyarakat, sebaiknya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Demikian pula seperti telah diuraikan dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa sumber pendapatan Daerah terdiri dari :
a) Pendapatan asli daerah yang berasal dari retribusi Daerah, hasil perusahaan
milik Daerah, b) dana perimbangan, c) pinjaman Daerah, dan d) dan lain-lain
pendapatan asli Daerah yang syah. Adapun materi pokok yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 Bagian Ketiga, Pasal 6 yang menyatakan bahwa dana
perimbangan terdiri dari: a) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan
bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber
daya alam, b) Dana alokasi umum, dan c) Dana alokasi khusus.[6]
Selanjutnya, menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Kemudian yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.[7]
Selain itu, otonomi daerah juga dapat dipandang sebagai cara untuk mewujudkan
secara nyata penyelenggaraan pemerintah yang efektif, efisien dan berwibawa
guna mewujudkan pemberian pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraan otonomi daerah juga merupakan keterikatan yang kuat antara daerah
yang satu dengan yang lainnya, di samping menumbuhkembangkan semangat
kebersamaan dalam simpul Negara Kesatuan Republik Indonesia.[8]
Adapun yang menjadi tujuan dari pengembangan
otonomi daerah adalah: a) memberdayakan masyarakat, b) menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas, c) meningkatkan peran serta masyarakat, dan d) mengembangkan peran
dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Disamping itu, perlu pula diketahui bahwa di
sisi lain ada sistem pemerintahan yang sentralisasi di mana pengambilan
keputusan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat dengan alasan di
antaranya adalah: a) untuk memelihara aspek pemerataan antar daerah, b)
kemampuan administrasi di banyak pemerintah daerah masih lemah, c) masih terdapat perbedaan yang tinggi dalam
kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah, d) untuk mengurangi gerakan
separatis, dan e) untuk perencanaan nasional dalam pembangunan sosial dan
ekonomi (prasarana komunikasi, transportasi, irigasi, dll.)
Untuk pemahaman sistem pemerintahan perlu
dipahami perbedaan pengertian antara istilah desesntralisasi dan dekonsentrasi.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah
atau Daerah tingkat atasnya kepada daerah dan menjadi urusan rumah tangganya.
Sedangkan dekonsentrasi artinya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau
Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada
Pejabat-pejabat di daerah.[9]
Dalam kaitannya dengan sistem desentralisasi
dan dekonsentrasi dikembangkan pula sistem keuangan daerah yang mendukung yaitu
bahwa: (1) penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Daerah
dibiayai atas beban APBD, dan (2) penyelenggaraan tugas pemerintah pusat di
daerah dibiayai atas beban APBN.
B. Keuntungan dan Kerugian Dari Sistem Otonomi
Daerah
a)
Keuntungan dari sistem otonomi daerah
Sekelompok
orang percaya bahwa pemerintah daerah akan bekerja lebih efisien daripada
pemerintah pusat, sedangkan kelompok lainnya lagi percaya terhadap sebaliknya
yaitu bahwa pemerintah pusat akan bekerja lebih efisien daripada pemerintah
daerah dalam menyediakan barang-barang publik. Namun sebenarnya akan lebih
tepat bila dikatakan bahwa ada sebagian kegiatan yang lebih efisien bila
dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan ada kegiatan lain yang lebih efisien
bila dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, kita harus hati-hati
dalam menentukan kegiatan macam apa yang sebaiknya diserahkan kepada pemerintah
pusat dan kegiatan apa pula yang seyogyanya diserahkan kepada pemerintah
daerah.
Dalam teori keuangan negara dan berbagai
pembicaraan mengenai peranan pemerintah dalam perekonomian, telah sering
disinggung bahwa barang publik dan eksternalitas akan lebih baik dikelola oleh
pemerintah. Tetapi sekarang harus dilihat dimensi dari barang publik dan
eksternalitas itu dalam kaitannya dengan ruang geografi (spatial). Sebagai
misal, pemerintah menyediakan polisi lalu lintas di Kabupaten Banyumas; maka
usaha tersebut akan memberikan manfaat kepada penduduk. Kabupaten Banyumas lebih
banyak daripada penduduk kabupaten lainnya. Manfaat pelayanan jasa polisi lalu
lintas itu akan terpusat terutama di kabupaten Banyumas dan tidak untuk
penduduk di seluruh Indonesia. Jadi manfaat tersebut akan semakin berkurang
dengan semakin jauhnya jarak suatu daerah dari pusat lokasi kegiatan polisi
lalu lintas tersebut berada. Barang publik yang manfaatnya terpusat secara
geografis disebut sebagai barang publik lokal (local public goods), yang
dibedakan dengan barang publik nasional (national publik goods) seperti
dalam hal pertahanan nasional.
Demikian
pula terdapat eksternalitas yang sifatnya lokal seperti pencemaran terhadap
sumber daya air sungai atau danau tertentu yang dampaknya lebih dirasakan oleh
masyarakat atau lingkungan yang terdekat atau yang mengguanakan sungai atau
danau tersebut. Sesungguhnya ada suatu masyarakat yang lebih menginginkan
pelayanan polisi yang baik dan aman, tetapi ada pula masyarakat yang lebih
menginginkan adanya sebuah taman kota yang indah dan nyaman. Ada pula
masyarakat yang lebih menghendaki adanya sekolah pemerintah yang bagus untuk
pendidikan anak-anak mereka. Kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda itu akan
dapat dipenuhi dengan lebih baik dan efisien oleh pemerintah daerah dan bukan
pemerintah pusat. Pemerintah pusat akan lebih baik dalam menyediakan pertahanan
dan keamanan nasional dengan tentara yang kuat dan berwibawa, tetapi pemerintah
pusat akan kurang efisien dalam menyelenggarakan jasa kepolisian dan
pemeliharaan taman kota. Dengan kata lain, sistem pemerintahan dengan otonomi
daerah akan lebih mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi
sesuai dengan preferensi (keinginan) masing-masing masyarakat.[10]
Selanjutnya dalam negara di mana terdapat
mobilitas penduduk yang tinggi akan dimungkinkan adanya perpindahan penduduk
sehingga penduduk menjadi homogen keinginannya. Penduduk yang lebih menyukai
kondisi lingkungan yang bersih dan taman yang indah akan pindah dan kumpul di
suatu daerah yang pemerintah daerahnya lebih banyak memperhatikan tentang
kualitas lingkungan yang baik, mungkin dengan mengenakan peraturan-peraturan
lingkungan yang ketat. Sedangkan bagi daerah yang memiliki lembaga pendidikan
(sekolah atau universitas) yang baik akan dihuni oleh para orang tua yang
memiliki anak-anak usia sekolah yang sedang memerlukan pendidikan. Demikian
pula sebenarnya masih banyak kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi
lokasi domisili penduduk seperti: tersedianya lapangan kerja yang luas; adanya
kehangatan dan keramahan hubungan antar tetangga dan teman; kondisi iklim yang
sejuk dan menyenangkan; pengenaan pajak penjualan yang tidak terlalu berat; dan
masih banyak faktor lain lagi.
Keuntungan yang lain dengan adanya sistem
otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap
kebutuhan masyarakatnya sendiri. Proses politik dalam masyarakat yang lebih
sempit akan lebih cepat dan efisien daripada dalam masyarakat yang lebih luas.
Dengan pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakatnya akan lebih sedikit
kekurangan atau kesalahan yang akan dibuat dalam mekanisme pengambilan
keputusan.
Selanjutnya dengan otonomi daerah akan
lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang
dapat dilakukan. Karena banyak pemerintah daerah yang sifatnya otonom, akan
banyak pula cara dan sistem administrasi maupun ekonomi yang berbeda-beda yang
diterapkan pada daerah yang berbeda. Akibatnya seperti banyak eksperimen dan
tentu ada yang berhasil dengan baik tetapi ada pula yang kurang berhasil atau
bahkan ada pula yang gagal. Suatu keberhasilan atau kegagalan merupakan suatu
invasi yang nantinya dapat ditiru oleh daerah-daerah lain yang juga ingin
mendapatkan keberhasilan tentunya dengan mengingat kondisi daerah
masing-masing. Jadi dalam suatu negara segala sesuatu tidak harus seragam
secara nasional, melainkan justru dapat beraneka ragam dan bervariasi.[11]
Sebagai
suatu kesimpulan dapat dinyatakan sekali lagi bahwa dengan sistem otonomi
daerah, masyarakat dapat menyediakan jasa pelayanan yang berbeda-beda dengan
tingkatan yang berbeda pula yang sesuai dengan preferensi masyarakat yang
bersangkutan, penduduk akan bebas berpindah tempat tinggal ke daerah yang
sesuai dengan keinginannya. Juga proses politik akan lebih cepat, sederhana dan
efisien dengan pemerintah daerah; dan akhirnya eksperimen dan inovasi lebih
banyak terjadi dengan sistem otonomi daerah. Pendekatan yang berbeda-beda dalam
mengatasi masalah ekonomi yang ada akan dapat dibandingkan secara langsung
antara pemerintah daerah yang semacam.
b)
Kerugian sistem otonomi daerah
Dalam
hal-hal tertentu, pemerintah daerah akan kurang efektif dan efisien dalam
mengatasi permasalahan yang ada. Sebagai misal bila pemerintah daerah diminta
untuk menyediakan barang publik nasional seperti pertahanan dan keamanan
nasional, masalah pemerataan pengahasilan (redistribusi penghasilan) dan
pemecahan masalah ekonomi makro, tentu hasilnya tidak akan memuaskan.[12]
a.
Dalam hal pertahanan dan keamanan apabila hal
ini diserahkan kepada pemerintah daerah, tentu setiap daerah akan bertanggung
jawab terhadap daerahnya masing-masing dalam menghadapi serangan dari luar.
Apabila kita menjumlahkan semua usaha pertahanan masing-masing daerah tersebut
pasti akan kurang memadai. Misalnya kalau suatu daerah, misalnya DKI Jakarta
mengusahakan sebuah peluru kendali, manfaatnya tentu akan dinikmati oleh
penduduk daerah lain. Demikian pula dalam menentukan pembiayaannya, penduduk
DKI hanya akan melihat manfaat yang diterima oleh mereka sendiri tanpa
memperhatikan manfaat yang diterima oleh penduduk dari daerah lain. Akibatnya
ada kasus pembonceng bebas (free rider problem), sehingga orang akan
kurang bersedia untuk membayar dan akan terjadi kekurangan biaya untuk usaha
peluru kendali tersebut. Dampaknya aspek pertahanan dan keamanan tidak efektif
dan efisien dibiayai. Tentunya hal ini akan berbeda jika dipertimbangkan oleh
seluruh penduduk Indonesia sebagai suatu bangsa yang harus memertahankan
kesatuannya menghadapi serangan dari luar. Jadi penyediaan barang publik yang
manfaatnya dinikmati oleh setiap penduduk dalam semua masyarakat harus diusahakan
oleh pemerintah pusat. Memang dalam hal tertentu ada pula kebijakan lingkungan
yang dampaknya dirasakan oleh lebih dari satu daerah provinsi atau kabupaten,
sehingga menghendaki kebijakan itu dibicarakan bersama oleh pemerintah provinsi
atau oleh pemerintah pusat. Jadi tidak semua jasa publik dapat disediakan secara
efisien oleh pemerintah.[13]
b.
Dalam hal redistribusi pendapatan, pemerintah
daerah juga tidak akan efisien dalam mengusahakannya. Redistribusi pendapatan
biasanya ditempuh dengan menggunakan pajak pada kelompok kaya dengan memberikan
subsidi kepada kelompok berpenghasilan rendah. Apabila hal ini dilaksanakan
oleh daerah seperti Kabupaten Kutai yang kaya itu, maka apa yang akan terjadi.
Kelompok kaya mungkin akan pindah ke daerah di mana perpajakan dan pungutan
tidak terlalu tinggi, dan orang-orang berpenghasilan rendah akan pindah ke
Kabupaten Kutai dengan maksud untuk mendapatkan subsidi atau bantuan sosial.
Akibatnya pendapatan per kapita di Kabupaten Kutai akan turun, dan program
kesejahteraan sosial tidak dapat dilaksanakan lagi. Jadi kalau semua orang kaya
pindah ke daerah lain karena takut pajak dan pungutan di daerah yang
bersangkutan maka program redistribusi pendapatan tidak berhasil. Oleh karena
itu, program redistribusi pendapatan harus dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat akan dapat membantu semua orang miskin di semua daerah dan
memungut pajak terhadap semua orang berpenghasilan tinggi di negara tersebut.
Dengan demikian tidak akan ada pelarian atau perpindahan penduduk antar daerah.
Memang dimungkinkan adanya pelarian atau perpindahan penduduk ke negara lain.
Namun hal ini lebih kecil kemungkinannya daripada orang pindah dari daerah yang
satu ke daerah yang lain. Dalam hal khusus yang berkaitan dengan pemilikan
tanah yang umumnya dikuasai oleh orang kaya, maka pajak atas tanah (Pajak Bumi
dan Bangunan) merupakan alat yang baik untuk redistribusi pendapatan karena
tidak mungkin pemilik tanah atau rumah lalu menjual rumahnya dan pindah ke
daerah lain yang pajaknya lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh menurunnya
harga tanah dan bangunan bila semua orang kaya akan menjual kekayaan mereka.
Oleh karena kebijakan untuk pindah ke daerah lain mungkin akan dihindari.
c.
Dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi makro,
jelas pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakannya; khususnya yang
berkaitan dengan kebijakan moneter. Pemerintah daerah tidak dapat menambah atau
mengurangi jumlah uang beredar. Demikian pula kebijakan pemerintah daerah dalam
bidang kesempatan kerja dan harga tidak akan banyak berpengaruh dalam suatu
daerah. Setiap kebijakan fiskal (perpajakan dan pengeluaran) tentu akan
ditanggapi dengan kepindahan subyek pajak ke daerah lain yang lebih
menguntungkan. Jadi pemerintah pusatlah yang harus bertanggung jawab terhadap
kebijakan stabilisasi ekonomi secara makro.[14]
Dari uraian di atas tidak dimaksudkan untuk
memilih apakah sistem pemerintahan sebaiknya sepenuhnya dilakukan dengan
sentralisasi atau sepenuhnya dengan desentralisasi (otonomi daerah), tetapi
dimaksudkan untuk melihat isu yang sebenarnya yaitu menentukan fungsi apa
sajakah yang paling baik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan fungsi
mana yang secara efisien akan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sistem
yang optimal tentunya akan dipercayakan kepada sistem campuran dari kedua
bentuk sistem pemerintahan tersebut, di mana masing-masing menjalankan fungsi
yang dapat dikerjakan dengan paling baik. Pembicaraan ini akan memberikan
bimbingan dalam menentukan tingkat pemerintahan mana yang paling tepat untuk
melaksanakan kebijakan tertentu. Perlu pula disadari bahwa masih banyak
kebijakan yang sifatnya “di antara” ke duanya sehingga perlu kombinasi dalam
sistem penanganannya seperti dalam kasus pencemaran lingkungan yang menyangkut
beberapa daerah.[15]
C. Hal-Hal Yang Menyebabkan Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia Menjadi Tidak Optimal[16]
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia:
1.
Lemahnya pengawasan maupun check and balances
Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi Daerah
Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi Daerah
2.
Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang keliru,
baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi
Daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera.
3.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan
tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang
besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, dan juga menguras
sumberdaya alam yang tersedia.
4.
Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah
artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya
alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri.
5.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang
seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi
Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan
seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku
aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi karena Otonomi Daerah
lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi.
6.
Kurangnya pembangunan sumber daya manusia /
Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang
seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas ini merupakan kunci
penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sumber Daya Manusia yang
tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan Otonomi Daerah
tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik dan
penyelewengan serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.
D. Cara Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi
Daerah[17]
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya
membawa perubahan positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah
otonom tersebut menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan
yang dilakukan oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki
beberapa syarat yang sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi
keberhasilan Otonomi Daerah, yaitu:
1.
Manusia selaku pelaksana dari Otonomi Daerah
harus merupakan manusia yang berkualitas.
2.
Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah harus tersedia dengan cukup.
3.
Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia
dengan cukup dan memadai.
4.
Organisasi dan manajemen harus baik.
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor
manusia yang baik” adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai
subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. Oleh karena
itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena
inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan
Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai cara, seperti:
1.
Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala
Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme pengawasan ini. Pengawasan ini dimaksudkan pula, agar Daerah selalu melakukan tugas kewajibannya sebaik-baiknya, sehingga terjaminlah kepentingan negara dan rakyat di daerah. Pengawasan adalah sebagian dari kewenangan pemerintahan secara menyeluruh, karena pada tingkat terakhir pemerintah pusat-lah yang harus bertanggung jawab mengenai seluruh penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah.[18]
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme pengawasan ini. Pengawasan ini dimaksudkan pula, agar Daerah selalu melakukan tugas kewajibannya sebaik-baiknya, sehingga terjaminlah kepentingan negara dan rakyat di daerah. Pengawasan adalah sebagian dari kewenangan pemerintahan secara menyeluruh, karena pada tingkat terakhir pemerintah pusat-lah yang harus bertanggung jawab mengenai seluruh penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah.[18]
2.
Memperketat pengawasan terhadap Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun
kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Kemudian yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
·
Tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah:
a) memberdayakan masyarakat, b) menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, c)
meningkatkan peran serta masyarakat, dan d) mengembangkan peran dan fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
·
Keuntungan dari sistem otonomi daerah,
diantaranya, masyarakat dapat menyediakan jasa pelayanan yang berbeda-beda
dengan tingkatan yang berbeda pula yang sesuai dengan preferensi masyarakat
yang bersangkutan, penduduk akan bebas berpindah tempat tinggal ke daerah yang
sesuai dengan keinginannya. Juga proses politik akan lebih cepat, sederhana dan
efisien dengan pemerintah daerah; dan akhirnya eksperimen dan inovasi lebih
banyak terjadi dengan sistem otonomi daerah. Pendekatan yang berbeda-beda dalam
mengatasi masalah ekonomi yang ada akan dapat dibandingkan secara langsung
antara pemerintah daerah yang semacam.
·
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah
harus ditempuh berbagai cara, seperti: 1) Memperketat mekanisme pengawasan
kepada Kepala Daerah; 2) Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah; 3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk
menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya.
B. Saran
Dari uraian di atas tidak dimaksudkan untuk
memilih apakah sistem pemerintahan sebaiknya sepenuhnya dilakukan dengan
sentralisasi atau sepenuhnya dengan desentralisasi (otonomi daerah), tetapi
dimaksudkan untuk melihat isu yang sebenarnya yaitu menentukan fungsi apa
sajakah yang paling baik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan fungsi
mana yang secara efisien akan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sistem
yang optimal tentunya akan dipercayakan kepada sistem campuran dari kedua
bentuk sistem pemerintahan tersebut, di mana masing-masing menjalankan fungsi
yang dapat dikerjakan dengan paling baik. Pembicaraan ini akan memberikan
bimbingan dalam menentukan tingkat pemerintahan mana yang paling tepat untuk
melaksanakan kebijakan tertentu. Perlu pula disadari bahwa masih banyak
kebijakan yang sifatnya “di antara” ke duanya sehingga perlu kombinasi dalam
sistem penanganannya seperti dalam kasus pencemaran lingkungan yang menyangkut
beberapa daerah.
Daftar Pustaka
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
Suparmoko, M. Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan
Daerah. Cet I; Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2002
Widjaja, A.W. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Cet.
I; Jakarta: CV Rajawali, 1992.
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Cet.
II; Jakarta: MedPress, 2008.
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme
Sebagai Suatu Alternatif. Cet. III; Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002.
Soejito, Irwan. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah. Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1983.
[1]
M. Suparmoko, Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah (Cet
I; Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2002), h. 15-16.
[2]
A.W. Widjaja, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II (Cet. I;
Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. 18.
[3]
Ibid., h. 3
[4]
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Cet. II; Jakarta:
MedPress, 2008), h. 95.
[5]
M. Suparmoko, op. cit., h. 17.
[6]
Ibid., h.
[7]
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai
Suatu Alternatif (Cet. III; Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002), h. 11-12.
[8]
A.W. Widjaja, op. cit, h. 32.
[9]
Ibid., h. 13.
[10]
M. Suparmoko, op. cit., h. 19-20.
[11]
Ibid, h. 20-21.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid., h.22.
[14]
Ibid., h.23.
[15]
Ibid.
[16]
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
[17]
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
[18]
Irwan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah (Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.10-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar