Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam
Prog. Studi : S1 Manajemen D.2
Semester : Ganjil
Tugas : Final (Akhir)
Dosen Pengasuh : Dr. H. Abdul Wahid, M.A.
PERKAWINAN
SERTA HUKUM DAN TUJUAN MELAKUKANNYA DALAM ISLAM
Oleh:
ILMAWATI
1211557
SEKOLAH TINGGI
ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA
NUSANTARA
MAKASSAR
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama moderat memandang manusia sebagai manusia,
bukan sebagai malaikat. Ia mempunyai kebutuhan biologis yang tak bisa dihalangi
dan tidak mungkin disamakan dengan malaikat.[1]
Pada hakikatnya, semua aturan syari’at agama mengharamkan zina.
Tetapi Islam lain dari yang lain. Islam menghukum dengan hukuman yang sangat
berat kepada pelakunya, mencegah di samping mendorong agar setiap muslim
senantiasa berada dalam perilaku seks yang sempurna, sehingga tidak perlu
menyimpang, atau berzina.[2]
Larangan mendekati zina dalam agama Islam sesuai dengan firman
Allah SWT. yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an surah Al Israk ayat 32
yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu
mendekati perzinaan, sesungguhnya perzinaan itu adalah suatu perbuatan yang
keji (tidak sopan) dan suatu jalan yang buruk[3].”
Dalam surah Al Israk ayat 32 yang telah dikemukakan di atas, bahwa
isinya adalah berbentuk larangan, yaitu janganlah kamu mendekati perzinahan.
Menurut para ahli dan kaidah ushul fiqih,[4]
ilmu tentang pokok-pokok hukum Islam, larangan semacam ini adalah haram,
sehingga bagi seseorang yang mengerjakannya akan berdosa dan memperoleh pahala
bagi yang meninggalkannya.
Marilah sekarang kita meninjau arti perkataan mendekati zina itu
sendiri. Oleh W.J.S. Poerwadarminta kata zina diartikan perbuatan
bersetubuh yang tidak sah, seperti bersundal, bermukah, bergendak dan
sebagainya.[5]
Secara ilmiah, baik ditinjau dari aspek sosiologis ataupun medis,
zina sangat berbahaya, karena:
1.
Tinjauan
sosiologis, perzinahan akan mengakibatkan hancurnya, mengotori kebersihan jiwa,
menghilangkan kepercayaan, menurunkan martabat, memutuskan hubungan
kekeluargaan dan jual beli seks secara bebas dan akhirnya menghancurkan nasab
dan lahirlah anak-anak di luar nikah. Seorang laki-laki mengawini perempuan,
tetapi setelah nikah diketahui bahwa perempuan itu adalah saudara seayah seibu,
atau seibu hasil hubungan gelap, sedang ia sendiri tidak mengetahuinya.
Kasus-kasus semacam ini banyak sekali dijumpai di benua Eropa sebagai akibat
kebebasan seks yang menjadi mode pergaulan mereka.
2.
Tinjauan
medis, perzinahan akan memungkinkan menjalarnya penyakit-penyakit kelamin,
seperti sipilis, penyakit kencing nanah atau impoten/frigid.
Karena alasan-alasan seperti itulah, maka manusia diharapkan
menghindari perzinahan dan melakukan pernikahan atau perkawinan yang sah. Dalam
makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perkawinan itu serta pandangan
islam tentang melakukan perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian perkawinan?
2.
Apa saja
anjuran melakukan perkawinan?
3.
Apa
tujuan melakukan perkawinan?
4.
Apa
hikmah yang kita dapatkan dengan melakukan perkawinan?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Berikut ini pengertian perkawinan berdasarkan beberapa sumber,
diantaranya[6]:
1.
Menurut
Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi,
tenteram dan bahagia.
2.
Menurut
Imam Syafi’I, pengertian nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal
hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut majazi (mathaporic),
nikah itu artinya hubungan seksual.
3.
Pengertian
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
B. Anjuran Melakukan Pernikahan
“Dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: Rasulullah SAW bersabda
kepada kami: “Hai, para pemuda Barangsiapa di antara kamu telah sanggup kawin,
hendaklah kamu kawin. Karena kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan
membentengi kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia
berpuasa. Karena puasa itu ibarat kebiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan:[7]
Titah ini ditujukan kepada para pemuda. Karena mereka dipandang
sebagai orang yang berkeinginan kepada perempuan.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti “kawin” dalam hadits ini.
Tetapi pendapat yang paling tepat, yaitu mengartikan “kawin” dengan “setubuh”.
Jadi maksudnya: “Barangsiapa yang telah bisa bersetubuh lagi sanggup
membelanjainya, maka hendaklah ia kawin. Tetapi barangsiapa belum bisa karena
tak sanggup membelanjainya, maka hendaklah dia berpuasa agar dapat menahan
nafsunya dan menghilangkan rasa birahinya sebagaimana orang kebiri. Mengebiri
itu ialah memotong kedua buah pelir. Jadi maksudnya hanya puasa itu adalah ibarat
kebiri. Perintah kawin hukumnya wajib dengan syarat bila sudah sanggup
membelanjainya. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad.
Kata Ibnu Hazm: “Bagi orang yang telah dapat bersetubuh wajib kawin
kalau mampu membelanjainya atau ia mengambil perempuan budak tawanan perang
sebagai istrinya. Tetapi jika ia tidak dapat berbuat demikian, hendaklah dia
banyak-banyak puasa”. Katanya lagi “Pendapat ini adalah pendapatnya Ulama Salaf
(sahabatnya)”.
Tapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa perintah dalam hadits ini
hukumnya sunnah. Alasannya ialah karena Allah Ta’ala memberikan pilihan antara
“kawin dan mengambil budak perempuan tawanan perang”.
Firman Allah:
“Dan jika kamu khawatir tak dapat berbuat
adil kepada perempuan-perempuan yatim itu, maka kawinlah kamu dengan
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak dapat berbuat adil, maka kawinlah seorang saja atau
budak-budak yang ada di tangan kanan kamu. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat dhalim”. (Q.S. An-Nisaa’:3)
Mengambil budak perempuan sebagai teman hidup menurut Ijma’ adalah
tidak wajib. Begitu pula halnya dengan kawin. Sebab sebenarnya tidak ada soal
“memilih” antara wajib dan tidak wajib. Tetapi wajibnya kawin adalah tidak
benar, sebab ternyata Imam Daud dan Ibnu Hazm punya pendapat yang berbeda.[8]
Ibnu Daqiqil Ied mengatakan bahwa kalangan Ahli Fiqih ada yang
berpendapat wajib bila yang bersangkutan takut terjatuh dalam zina, sedangkan
dia telah sanggup membelanjai dan tidak suka mengambil budak perempuan.
Begitu juga keterangan Imam Qurthuby, bahwa bagi orang yang tidak
dapat menjauhi zina, kecuali dengan “kawin”, maka wajiblah dia kawin.
Selanjutnya beliau menerangkan tentang orang-orang yang haram, makruh, atau
sunnah dan mubah untuk kawin.
Haram kawin bagi orang yang tidak dapat memberikan nafkah lahir dan
batin kepada istrinya. Makruh kawin bagi orang yang tidak sanggup memberikan
nafkah lahir dan bathin kepada istrinya, tetapi tidak menimbulkan bahaya bagi istrinya.
Mubah kawin bagi orang yang belum ada keinginan, tetapi tidak pula terbawa
kepada jalan yang haram. Dan sunnah kawin bagi orang yang berkeinginan untuk
mendapatkan anak, sekalipun tidak punya nafsu birahi dalam bersertubuh.[9]
Sebab Nabi SAW bersabda:
“. . . . . , karena aku akan membanggakan jumlah kalian yang banyak
dihadapan umat-umat lainnya nanti di hari kemudian”.
Hadits ini pada lahirnya memberi anjuran dan memerintahkan kawin.
Sabda Nabi SAW: “. . . . . hendaklah dia puasa, merupakan peringatan
agar selalu menetapi puasa. Dan kata ganti “dia” dalam kalimat “hendaklah dia
puasa”, ditujukan kepada golongan yang dititahi (yaitu “pemuda”).
Puasa itu dianggap sebagai pengebiri, karena mengurangkan makan dan
minum yang dapat mengekang syahwat dan merupakan ke ibadah “puasa” ini, yang
tidak dapat diperoleh faedahnya sekedar dengan menggunakan makan saja, tanpa
niatan puasa. Dengan hadits ini kemudian dijadikan dalil oleh Imam Khatabym
bahwa dibolehkan meminum obat-obatan untuk mencegah nafsu birahi. Dan
Al-Baqhawy juga meriwayatkan dalam kitab syarah “As-Suma”. Tetapi hendaklah
obat-obat yang digunakan hanya sekedar mengurangkan nafsu seks dan bukan sama
sekali mematikannya. Sebab boleh jadi nanti pada suatu ketika orang yang belum
mampu membelanjai istrinya, terbuka jalan sehingga sanggup membelanjainya.
Selain itu bahwa melakukan kebiri oleh para Ulama telah disepakati haramnya.
Dan termasuk dalam larangan ini segala perbuatan yang digolongkan seperti
“mengebiri”.
Hadits ini menganjurkan agar mencapai usaha yang dapat lebih
menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan, yaitu kawin juga bahwa kawin
itu tidak akan dapat dikerjakan tanpa ada biaya untuk membelanjai istri.
Berdasarkan hadits ini sebagian pengikut mazhab Maliki berpendapat
bahwa onani itu haram. Sebab kalau onani itu mubah tentulah cara ini akan
dianjurkan, sebab cara ini paling mudah. Tetapi sebagian pengikut mazhab
Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa “onani” itu mubah (tidak dilarang, tetapi
juga tidak dianjurkan).
C.
Tujuan Melakukan Perkawinan
Tujuan
perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.[10]
Selain itu ada
pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk
membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani
hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketenteraman bagi yang bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat.
Dalam buku Ny. Soemijati, S.H., disebutkan bahwa tujuan perkawinan
dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih dan kasih sayang, untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.
Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:
a)
Menghalalkan
hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
b)
Mewujudkan
suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
c)
Memperoleh
keturunan yang sah.
Dari rumusan di atas, Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan
faedah perkawinan kepada lima hal, sebagai berikut[11]:
a)
Memperoleh
keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan
suku-suku bangsa manusia.
b)
Memenuhi
tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
c)
Memelihara
manusia dari kejahatan dan kerusakan.
d)
Membentuk
dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar
di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
e)
Menumbuhkan
kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar
rasa tanggung jawab.
Pada dasarnya inti mengenai tujuan perkawinan yang disebutkan dalam
buku ketiga sarjana tersebut tidak berbeda.
Dari defenisi perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk lebih jelasnya marilah kita melihat beberapa ayat dalam Kitab
Suci Al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan perkawinan, diantaranya[12]:
Firman Allah dalam surah An-Nisaa’ ayat 1
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”.
Firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 72
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”
Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat
Allah?[13]
Firman Allah dalam surah Ar-Ruum ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.”
Firman Allah SWT dalam surah
Al-A’raf ayat 189
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya
dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk
orang-orang yang bersyukur”.
Memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an di atas, jelas bahwa Islam
menganjurkan perkawinan, agar terwujud keluarga yang besar dan mampu mengatur
kehidupan mereka di atas bumi ini, dan dapat menikmati serta memanfaatkan
segala yang telah disediakan Tuhan.
Rasulullah SAW menganjurkan kawin bagi orang yang telah memenuhi
syarat-syarat fisik dan materiil yang diperlukan, sebab manfaatnya kawin adalah
untuk menjaga jangan terjerumus dan melanggar larangan Allah, yaitu melakukan
zina yang sangat dimurkai Allah, yang akibatnya sangat merusak kepada dirinya,
keluarganya dan masyarakatnya.[14]
Kecuali kalau memang persyaratan yang diperlukan belum terpenuhi
Rasulullah telah memberi petunjuk, agar yang bersangkutan melakukan puasa,
sebab puasa adalah salah satu cara untuk mengekang syahwat, karena badannya
lemah, maka syahwatnya pun lemah. Rezeki dan nikmat yang disedikan Tuhan jelas
melebihi kebutuhan manusia dan makhluk lain umumnya.
Menjadi kewajiban manusialah mengusahakan dan menggali kekayaan
alam yang berlimpah ini, untuk dinikmati bersama-sama dengan cara yang diridhoi
oleh Allah SWT.[15]
Firman Allah SWT dalam surah Az-Zukhruf ayat 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Firman Allah dalam surah Al-Fathir ayat 2
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka
tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh
Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan dialah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Jadi jelas bahwa yang menentukan kehidupan manusia sepenuhnya
adalah Allah SWT. dan bila Dia telah memberikan rahmat-Nya kepada manusia baik
berupa kekayaan, kesehatan, ilmu pengetahuan, ketentraman dan kebahagiaan,
siapapun tidak akan mampu menahan atau menghalang-halangi. Oleh karena itu
kewajiban manusia ialah memohon dan berusaha sebagaimana mestinya.
D. Hikmah Melakukan Perkawinan[16]
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut
karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan
seluruh umat manusia.
1.
Sesungguhnya
naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut
adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka
banyaklah manusia yang mengalami guncangan dan kacau serta menerobos jalan yang
jahat.
Dan kawinlah jalan alami, dan hewani yang paling baik sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan masalah naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan
tenang menikmati barang yang halal.
2.
Kawin
jalan terbaik bagi kebaikan anak-anak, memperbanyak keturunan, kelestarian
hidup serta memelihara nasib dengan baik yang memang sepenuhnya diperhatikan
oleh Islam.
Banyaknya jumlah keturunan mempunyai kebaikan umum dan khusus,
sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan keras untuk memperbanyak jumlah
rakyatnya dengan memberikan perangsang-perangsang melalui pemberian upah bagi
orang-orang yang anaknya banyak. Bahkan dahulu ada pepatah: anak banyak berarti
suatu kemegahan. Semboyan ini hingga sekarang tetap berlaku dan belum pernah
ada yang membatalkannya.
3.
Selanjutnya,
naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling lengkap melengkapi dalam suasana
hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan
sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan
seseorang.
4.
Menyadari
tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin
dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan
cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya,
sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar
jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.[17]
Juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan alam yang
dikarunia Allah untuk kepentingan hidup manusia.
5.
Pembagian
tugas, di mana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang
lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami
istri dalam menanggung tugas-tugasnya.
Perempuan bertugas mengatur dan
mengurusi rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak dan menyiapkan
suasana yang sehat bagi suaminya untuk istirahat guna melepaskan lelah dan
memperoleh kesegaran badan kembali. Sementara itu suami bekerja dan berusaha
mendapatkan harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga. Dengan pembagian
adil seperti ini, masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai
dengan keridhoan Ilahi dan dihormati oleh umat manusia dan membuahkan hasil
yang menguntungkan.
6.
Dengan
perkawinan dapat membuahkan di antaranya tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan
yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang
saling tunjang menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang
kuat lagi bahagia.
7.
Dalam
salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian “NATIONAL” terbitan Sabtu
6 Juni 1959 mengatakan: “Bahwa orang-orang yang bersuami istri umurnya lebih
panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda,
tercerai atau sengaja membujang”.[18]
III. PENUTUP
Kesimpulan
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci,
kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni,
kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.
“Dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: Rasulullah SAW bersabda
kepada kami: “Hai, para pemuda Barangsiapa di antara kamu telah sanggup kawin,
hendaklah kamu kawin. Karena kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan
membentengi kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia
berpuasa. Karena puasa itu ibarat kebiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai
dan teratur.
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut
karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan
seluruh umat manusia.
Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak
dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami guncangan dan kacau
serta menerobos jalan yang jahat.
Dan kawinlah jalan alami, dan hewani yang paling baik sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan masalah naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan
tenang menikmati barang yang halal.
Daftar Pustaka
Bukhori, M. Hubungan
Seks Menurut Islam. Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001.
Hamidi,
Zainuddin, dan Fachruddin Hs., Tafsir Qur’an. Jakarta: Penerbit Wijaya,
1959.
Hanafi, A.,
M.A. Diktat Usul Fiqih. Yogyakarta: PGGA/PHIN, 1955.
Poerwadarminta,
W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Ramulyo, M.
Idris. Hukum Perkawinan Islam. Cet IV; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Yunus Mahmud. Hukum
Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: CV Al Hidayah, 1964.
[1]
A. S. Al Fanjari, Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam (Cet. II; Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 1999), h. 125.
[2]
Ibid., h. 180-181.
[3]
H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir Qur’an (Jakarta: Penerbit
Wijaya, 1959), h. 398.
[4]
A. Hanafi, M.A. Diktat Ushul Fiqih (Yogyakarta: PGAA/PHIN, 1955), h. 26.
[5]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1976), h. 1155.
[6] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Cet.
IV; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 2.
[7]
M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut Islam (Cet. II; Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2001), h. 1.
[8]
Ibid., h. 2-3.
[9]
Loc.cit.
[10]
Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta; CV Al Hidayah,
1964), h. 1.
[11]
M. Idris Ramulyo, op.cit., h. 27.
[12]
Ibid., h. 28.
[13]
Loc.cit.
[14]
Ibid., h. 29.
[15]
Ibid., h. 30.
[16]
M. Bukhori, op.cit., h. 7.
[17]
Ibid., h. 8-9.
[18]
Ibid., h. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar