Jumat, 31 Januari 2014

Islam dan Scientec


Mata Kuliah                : Pendidikan Agama Islam
Prog. Studi                  : S1 Manajemen D.2
Semester                      : Ganjil
Tugas                           : Final (Akhir)
Dosen Pengasuh          : Dr. H. Abdul Wahid, M.A.

PERKAWINAN SERTA HUKUM DAN TUJUAN MELAKUKANNYA DALAM ISLAM

Oleh:

ILMAWATI
1211557


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA
MAKASSAR
2014

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama moderat memandang manusia sebagai manusia, bukan sebagai malaikat. Ia mempunyai kebutuhan biologis yang tak bisa dihalangi dan tidak mungkin disamakan dengan malaikat.[1]
Pada hakikatnya, semua aturan syari’at agama mengharamkan zina. Tetapi Islam lain dari yang lain. Islam menghukum dengan hukuman yang sangat berat kepada pelakunya, mencegah di samping mendorong agar setiap muslim senantiasa berada dalam perilaku seks yang sempurna, sehingga tidak perlu menyimpang, atau berzina.[2]
Larangan mendekati zina dalam agama Islam sesuai dengan firman Allah SWT. yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an surah Al Israk ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut:
 Dan janganlah kamu mendekati perzinaan, sesungguhnya perzinaan itu adalah suatu perbuatan yang keji (tidak sopan) dan suatu jalan yang buruk[3].”
Dalam surah Al Israk ayat 32 yang telah dikemukakan di atas, bahwa isinya adalah berbentuk larangan, yaitu janganlah kamu mendekati perzinahan. Menurut para ahli dan kaidah ushul fiqih,[4] ilmu tentang pokok-pokok hukum Islam, larangan semacam ini adalah haram, sehingga bagi seseorang yang mengerjakannya akan berdosa dan memperoleh pahala bagi yang meninggalkannya.
Marilah sekarang kita meninjau arti perkataan mendekati zina itu sendiri. Oleh W.J.S. Poerwadarminta kata zina diartikan perbuatan bersetubuh yang tidak sah, seperti bersundal, bermukah, bergendak dan sebagainya.[5]
Secara ilmiah, baik ditinjau dari aspek sosiologis ataupun medis, zina sangat berbahaya, karena:
1.      Tinjauan sosiologis, perzinahan akan mengakibatkan hancurnya, mengotori kebersihan jiwa, menghilangkan kepercayaan, menurunkan martabat, memutuskan hubungan kekeluargaan dan jual beli seks secara bebas dan akhirnya menghancurkan nasab dan lahirlah anak-anak di luar nikah. Seorang laki-laki mengawini perempuan, tetapi setelah nikah diketahui bahwa perempuan itu adalah saudara seayah seibu, atau seibu hasil hubungan gelap, sedang ia sendiri tidak mengetahuinya. Kasus-kasus semacam ini banyak sekali dijumpai di benua Eropa sebagai akibat kebebasan seks yang menjadi mode pergaulan mereka.
2.      Tinjauan medis, perzinahan akan memungkinkan menjalarnya penyakit-penyakit kelamin, seperti sipilis, penyakit kencing nanah atau impoten/frigid.
Karena alasan-alasan seperti itulah, maka manusia diharapkan menghindari perzinahan dan melakukan pernikahan atau perkawinan yang sah. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perkawinan itu serta pandangan islam tentang melakukan perkawinan.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian perkawinan?
2.      Apa saja anjuran melakukan perkawinan?
3.      Apa tujuan melakukan perkawinan?
4.      Apa hikmah yang kita dapatkan dengan melakukan perkawinan?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Berikut ini pengertian perkawinan berdasarkan beberapa sumber, diantaranya[6]:
1.      Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.
2.      Menurut Imam Syafi’I, pengertian nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut majazi (mathaporic), nikah itu artinya hubungan seksual.
3.      Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

B. Anjuran Melakukan Pernikahan
Dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Hai, para pemuda Barangsiapa di antara kamu telah sanggup kawin, hendaklah kamu kawin. Karena kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa. Karena puasa itu ibarat kebiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan:[7]
Titah ini ditujukan kepada para pemuda. Karena mereka dipandang sebagai orang yang berkeinginan kepada perempuan.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti “kawin” dalam hadits ini. Tetapi pendapat yang paling tepat, yaitu mengartikan “kawin” dengan “setubuh”. Jadi maksudnya: “Barangsiapa yang telah bisa bersetubuh lagi sanggup membelanjainya, maka hendaklah ia kawin. Tetapi barangsiapa belum bisa karena tak sanggup membelanjainya, maka hendaklah dia berpuasa agar dapat menahan nafsunya dan menghilangkan rasa birahinya sebagaimana orang kebiri. Mengebiri itu ialah memotong kedua buah pelir. Jadi maksudnya hanya puasa itu adalah ibarat kebiri. Perintah kawin hukumnya wajib dengan syarat bila sudah sanggup membelanjainya. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud yang diriwayatkan dari Imam Ahmad.
Kata Ibnu Hazm: “Bagi orang yang telah dapat bersetubuh wajib kawin kalau mampu membelanjainya atau ia mengambil perempuan budak tawanan perang sebagai istrinya. Tetapi jika ia tidak dapat berbuat demikian, hendaklah dia banyak-banyak puasa”. Katanya lagi “Pendapat ini adalah pendapatnya Ulama Salaf (sahabatnya)”.
Tapi Jumhur Ulama berpendapat bahwa perintah dalam hadits ini hukumnya sunnah. Alasannya ialah karena Allah Ta’ala memberikan pilihan antara “kawin dan mengambil budak perempuan tawanan perang”.
Firman Allah:
Dan jika kamu khawatir tak dapat berbuat adil kepada perempuan-perempuan yatim itu, maka kawinlah kamu dengan perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil, maka kawinlah seorang saja atau budak-budak yang ada di tangan kanan kamu. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat dhalim”. (Q.S. An-Nisaa’:3)
Mengambil budak perempuan sebagai teman hidup menurut Ijma’ adalah tidak wajib. Begitu pula halnya dengan kawin. Sebab sebenarnya tidak ada soal “memilih” antara wajib dan tidak wajib. Tetapi wajibnya kawin adalah tidak benar, sebab ternyata Imam Daud dan Ibnu Hazm punya pendapat yang berbeda.[8]
Ibnu Daqiqil Ied mengatakan bahwa kalangan Ahli Fiqih ada yang berpendapat wajib bila yang bersangkutan takut terjatuh dalam zina, sedangkan dia telah sanggup membelanjai dan tidak suka mengambil budak perempuan.
Begitu juga keterangan Imam Qurthuby, bahwa bagi orang yang tidak dapat menjauhi zina, kecuali dengan “kawin”, maka wajiblah dia kawin. Selanjutnya beliau menerangkan tentang orang-orang yang haram, makruh, atau sunnah dan mubah untuk kawin.
Haram kawin bagi orang yang tidak dapat memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Makruh kawin bagi orang yang tidak sanggup memberikan nafkah lahir dan bathin kepada istrinya, tetapi tidak menimbulkan bahaya bagi istrinya. Mubah kawin bagi orang yang belum ada keinginan, tetapi tidak pula terbawa kepada jalan yang haram. Dan sunnah kawin bagi orang yang berkeinginan untuk mendapatkan anak, sekalipun tidak punya nafsu birahi dalam bersertubuh.[9] Sebab Nabi SAW bersabda:
“. . . . . , karena aku akan membanggakan jumlah kalian yang banyak dihadapan umat-umat lainnya nanti di hari kemudian”.
Hadits ini pada lahirnya memberi anjuran dan memerintahkan kawin.
Sabda Nabi SAW: “. . . . . hendaklah dia puasa, merupakan peringatan agar selalu menetapi puasa. Dan kata ganti “dia” dalam kalimat “hendaklah dia puasa”, ditujukan kepada golongan yang dititahi (yaitu “pemuda”).
Puasa itu dianggap sebagai pengebiri, karena mengurangkan makan dan minum yang dapat mengekang syahwat dan merupakan ke ibadah “puasa” ini, yang tidak dapat diperoleh faedahnya sekedar dengan menggunakan makan saja, tanpa niatan puasa. Dengan hadits ini kemudian dijadikan dalil oleh Imam Khatabym bahwa dibolehkan meminum obat-obatan untuk mencegah nafsu birahi. Dan Al-Baqhawy juga meriwayatkan dalam kitab syarah “As-Suma”. Tetapi hendaklah obat-obat yang digunakan hanya sekedar mengurangkan nafsu seks dan bukan sama sekali mematikannya. Sebab boleh jadi nanti pada suatu ketika orang yang belum mampu membelanjai istrinya, terbuka jalan sehingga sanggup membelanjainya. Selain itu bahwa melakukan kebiri oleh para Ulama telah disepakati haramnya. Dan termasuk dalam larangan ini segala perbuatan yang digolongkan seperti “mengebiri”.
Hadits ini menganjurkan agar mencapai usaha yang dapat lebih menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan, yaitu kawin juga bahwa kawin itu tidak akan dapat dikerjakan tanpa ada biaya untuk membelanjai istri.
Berdasarkan hadits ini sebagian pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa onani itu haram. Sebab kalau onani itu mubah tentulah cara ini akan dianjurkan, sebab cara ini paling mudah. Tetapi sebagian pengikut mazhab Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa “onani” itu mubah (tidak dilarang, tetapi juga tidak dianjurkan).

C. Tujuan Melakukan Perkawinan
Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.[10]
Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketenteraman bagi yang bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat.
Dalam buku Ny. Soemijati, S.H., disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.
Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut:
a)      Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
b)      Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
c)      Memperoleh keturunan yang sah.
Dari rumusan di atas, Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, sebagai berikut[11]:
a)      Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
b)      Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
c)      Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
d)     Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
e)      Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Pada dasarnya inti mengenai tujuan perkawinan yang disebutkan dalam buku ketiga sarjana tersebut tidak berbeda.
Dari defenisi perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk lebih jelasnya marilah kita melihat beberapa ayat dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan perkawinan, diantaranya[12]:
Firman Allah dalam surah An-Nisaa’ ayat 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”.
Firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 72
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”
Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?[13]
Firman Allah dalam surah Ar-Ruum ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Firman Allah SWT dalam  surah Al-A’raf ayat 189
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”.
Memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an di atas, jelas bahwa Islam menganjurkan perkawinan, agar terwujud keluarga yang besar dan mampu mengatur kehidupan mereka di atas bumi ini, dan dapat menikmati serta memanfaatkan segala yang telah disediakan Tuhan.
Rasulullah SAW menganjurkan kawin bagi orang yang telah memenuhi syarat-syarat fisik dan materiil yang diperlukan, sebab manfaatnya kawin adalah untuk menjaga jangan terjerumus dan melanggar larangan Allah, yaitu melakukan zina yang sangat dimurkai Allah, yang akibatnya sangat merusak kepada dirinya, keluarganya dan masyarakatnya.[14]
Kecuali kalau memang persyaratan yang diperlukan belum terpenuhi Rasulullah telah memberi petunjuk, agar yang bersangkutan melakukan puasa, sebab puasa adalah salah satu cara untuk mengekang syahwat, karena badannya lemah, maka syahwatnya pun lemah. Rezeki dan nikmat yang disedikan Tuhan jelas melebihi kebutuhan manusia dan makhluk lain umumnya.
Menjadi kewajiban manusialah mengusahakan dan menggali kekayaan alam yang berlimpah ini, untuk dinikmati bersama-sama dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.[15]
Firman Allah SWT dalam surah Az-Zukhruf ayat 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Firman Allah dalam surah Al-Fathir ayat 2
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Jadi jelas bahwa yang menentukan kehidupan manusia sepenuhnya adalah Allah SWT. dan bila Dia telah memberikan rahmat-Nya kepada manusia baik berupa kekayaan, kesehatan, ilmu pengetahuan, ketentraman dan kebahagiaan, siapapun tidak akan mampu menahan atau menghalang-halangi. Oleh karena itu kewajiban manusia ialah memohon dan berusaha sebagaimana mestinya.

D. Hikmah Melakukan Perkawinan[16]
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia.
1.      Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami guncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.
Dan kawinlah jalan alami, dan hewani yang paling baik sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan masalah naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2.      Kawin jalan terbaik bagi kebaikan anak-anak, memperbanyak keturunan, kelestarian hidup serta memelihara nasib dengan baik yang memang sepenuhnya diperhatikan oleh Islam.
Banyaknya jumlah keturunan mempunyai kebaikan umum dan khusus, sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan keras untuk memperbanyak jumlah rakyatnya dengan memberikan perangsang-perangsang melalui pemberian upah bagi orang-orang yang anaknya banyak. Bahkan dahulu ada pepatah: anak banyak berarti suatu kemegahan. Semboyan ini hingga sekarang tetap berlaku dan belum pernah ada yang membatalkannya.
3.      Selanjutnya, naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling lengkap melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4.      Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.[17]
Juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan alam yang dikarunia Allah untuk kepentingan hidup manusia.
5.      Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menanggung tugas-tugasnya.
Perempuan bertugas mengatur dan mengurusi rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak dan menyiapkan suasana yang sehat bagi suaminya untuk istirahat guna melepaskan lelah dan memperoleh kesegaran badan kembali. Sementara itu suami bekerja dan berusaha mendapatkan harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga. Dengan pembagian adil seperti ini, masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridhoan Ilahi dan dihormati oleh umat manusia dan membuahkan hasil yang menguntungkan.
6.      Dengan perkawinan dapat membuahkan di antaranya tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling tunjang menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
7.      Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian “NATIONAL” terbitan Sabtu 6 Juni 1959 mengatakan: “Bahwa orang-orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang”.[18]

III. PENUTUP
Kesimpulan
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.
Dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Hai, para pemuda Barangsiapa di antara kamu telah sanggup kawin, hendaklah kamu kawin. Karena kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa. Karena puasa itu ibarat kebiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia.
Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami guncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.
Dan kawinlah jalan alami, dan hewani yang paling baik sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan masalah naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.

Daftar Pustaka
Bukhori, M. Hubungan Seks Menurut Islam. Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001.
Hamidi, Zainuddin, dan Fachruddin Hs., Tafsir Qur’an. Jakarta: Penerbit Wijaya, 1959.
Hanafi, A., M.A. Diktat Usul Fiqih. Yogyakarta: PGGA/PHIN, 1955.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Cet IV; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Yunus Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: CV Al Hidayah, 1964.



[1] A. S. Al Fanjari, Nilai Kesehatan Dalam Syariat Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), h. 125.
[2] Ibid., h. 180-181.
[3] H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir Qur’an (Jakarta: Penerbit Wijaya, 1959), h. 398.
[4] A. Hanafi, M.A. Diktat Ushul Fiqih (Yogyakarta: PGAA/PHIN, 1955), h. 26.
[5] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 1155.
[6]  M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Cet. IV; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 2.

[7] M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut Islam (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), h. 1.
[8] Ibid., h. 2-3.
[9] Loc.cit.
[10] Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta; CV Al Hidayah, 1964), h. 1.
[11] M. Idris Ramulyo, op.cit., h. 27.
[12] Ibid., h. 28.
[13] Loc.cit.
[14] Ibid., h. 29.
[15] Ibid., h. 30.
[16] M. Bukhori, op.cit., h. 7.
[17] Ibid., h. 8-9.
[18] Ibid., h. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar