BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Naluri asasi
manusia menghendaki keselamatan dan kesenangan, diistilahkan oleh Islam dengan
salam. Yang dimaksud dengan keselamatan ialah keselamatan hidup, yakni
mempertahankan hidup dan melanjutkan hidup. Kesenangan meliputi juga dua aspek,
kemakmuran yang bersifat material dan kesejahteraan yang bersifat spiritual.
Mempertahankan
hidup ialah denga jalan merawat jasad, memberikan zat-zat yang diperlukannya
untuk tetap berfungsi, seperti makan dan minum, dan memperbaiki
kerusakan-kerusakan pada fungsinya, yang disebut pengobatan. Manusia sebagai
pribadi suatu ketika akan mati, tapi manusia sebagai umat dilanjutkan
kehidupannya dengan melahirkan keturunan. Kelanjutan hidup berlangsung dengan
hubungan biologi, yang disebut perkawinan. Naluri manusia menghendaki agar
mempertahankan dan melanjutkan hidup itu berlangsung dalam keadaan dan suasana
kesenangan, yakni dengan keperluan-keperluan benda yang cukup dan
keperluan-keperluan rohaniah yang lengkap pula. Manusia menghendaki kemakmuran,
cukup makanan, pakaian, perumahan, pengobatan dan pendidikan untuk memupuk
kemampuan seseorang mengusahakan keperluan-keperluan tersebut. Manusia menghendaki
pula kesejahteraan, yang diwujudkan oleh nilai-nilai kebenaran, keadilan,
kebaikan, dan keindahan.
Membina
keselamatan dan kesenangan itu tidak mungkin diusahakan oleh manusia sendiri-sendiri.
Untuk itu mereka perlu bekerja sama yang tepat guna (efektif) dan tepat hasil
(efisien) dimungkinkan oleh hidup bersama. Bekerja-sama dan hidup bersama ini
membentuk sosial. Sosial membentuk masyarakat. Masyarakat membentuk kebudayaan,
dan kebudayaan mengatur masyarakat.[1]
Betapapun patut diingat disini, bahwa implikasi keagamaan
pembangunan keekonomian hanya merupakan sebagian dari konteks yang labih besar:
implikasi sosial. “sosial” disisni sebagaimana diterangkan oleh
Eugene Staley berarti semua aspek hubungan antar manusia. Selanjutnya dia
mengatakan bahwa modernisasi berarti pengubahan hubungan manusia dalam
masyarakat. Hal ini merupakan keharusan bagi perubahan-perubahan sosial
mendalam sebagai bagian dari modernisasi ekonomi.[2]
Kegiatan-kegiatan
manusia mempertahankan hidup dan usaha-usaha mereka menegakkan kemakmuran
membentuk bidang kebudayaan, yang diistilahkan ekonomi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
kebudayaan dan ekonomi?
2.
Apakah
masalah dalam perubahan ekonomi?
3.
Bagaimana
ekonomi dipandang sebagai ilmu?
4.
Bagaimana
pandangan islam tentang ekonomi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan dan ekonomi
Montagu memaknakan kebudayaan
sebagai jawaban manusia terhadap kebutuhan-kebutuhan asasnya. Kebutuhan asas
yang konkrit ialah kebutuhan jasmaniah yang bersifat materi. Lembaga yang
bertugas memproduksi (menghasilkan), distribusi (mengedarkan), dan konsumsi
(menggunakan) materi itu adalah ekonomi. Tujuan ekonomi ialah kecukupan materi
itu, yang disebut kemakmuran.[3]
Dengan demikian, jelaslah betapa
eratnya berkait kebudayaan dan ekonomi. Antara keduanya terjalin hubungan
sebab-akibat. Keadaan kebudayaan menetukan keadaan ekonomi, sebaliknya
perubahan ekonomi mengubah kebudayaan.
1. Tingkat-tingkat
ekonomi[4]
Proses menggerakkan ekonomi menggerakkan
proses perkembangan kebudayaaan, dan sebaliknya. Hal ini diperlihatkan oleh
perjalanan sejarah umat manusia. Tahap-tahap perkembangan ekonomi adalah sama
dengan tahap-tahap perkembangan kebudayaan.
· Pada awal sejarah umat manusia ekonomi terdiri dari meramu (mengumpulkan
bahan-bahan makanan) dan berburu. Kebudayaan awal itu disebut kebudayaan
berburu.
· Perkembangan pengalaman dan pemikiran mengalihkan berburu kepada
beternak. Kebudayaannya disebut kebudayaan beternak.
· Ketika manusia menemukan hukum alam, bahwa tanah dapat didiktekan
untuk menghasilkan bahan-bahan makanan yang diperlukan, lahirlah pertanian
sebagai pokok ekonomi. Pertanian menimbulkan revolusi kebudayaan di dalam
pra-sejarah. Ia menghentikan kehidupan mengembara sebagai pembawaan ekonomi
berburu dan beternak, dengan mengikat manusia kepada tanah yang ditanaminya. Ia
terpaksa menunggu hasil tanah yang
dikerjakannya, dan setelah panen, kembali ia mesti menunggu hasil berikutnya.
Tumbuhlah desa sebagai pusat kebudayaan tani. Kehidupan yang menetap
menyuburkan pertumbuhan kebudayaan, mengarah kepada peradaban. Terjadilah
kemajuan yang pesat dalam hubungan dan ikatan kekerabatan, bahasa dan
pendidikan, susunan masyarkat, pengetahuan dan ketukangan, kesenian, filsafat,
dan agama.
· Perkembangan kebudayaan pertanian suatu ketika mencapai peradaban.
Peradaban atau tamaddun (civilization) ialah tingkat perkembangan
kebudayaan yang tinggi segi material dan spiritulnya. Masyarakat telah
diorganisasi, diatur oleh pentadbiran (administrasi) dan dikuasai oleh hukum.
Tulisan sudah berfungsi. Perkembangan ilmu dan teknik meningkatkan efektivitas
dan efisiensi kehidupan masyarakat.
· Setelah peradaban tercapai terjadi kemajuan ilmu-ilmu sosial,
ilmu-ilmu eksakta dengan teknologinya, yang mencetuskan revolusi kebudayaan
yang kedua dalam sejarah. Ekonomi pertanian meningkat menjadi ekonomi industri,
yang berpusat di kota-kota. Peranan utama dalam ekonomi berlalih dari kaum tani
kepada kaum buruh. Sampai sekarang dunia maju masih dalam tingat kebudayaan
industri yang bertulang-punggungkan ekonomi industri.
Dalam
lintasan sejarah itu jelas kelihatan betapa ekonomi itu mengalami kehidupan
kebudayaan dan ekonomi mengurus soal-soal materi.
2. Ekonomi dan materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang
menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya
semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi
material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme
termasuk paham ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme.[5]
Marx berteori bahwa kebudayaan adalah hasil dari keadaan materi.
Yang dimaksudkannya dengan kebudayaan ialah musik, seni, etika, agama, ilmu dan
filsafat.[6]
Kebudayaan (yang bersifat rohaniah) berlawanan dengan ekonomi (yang bersifat
lahiriah atau material). Gerak kehidupan berlangsung dengan hubungan
sebab-akibat antara materi dan rohani. Kebudayaan merupakan bangunan atas
kehidupan, sebagai hasil dari ekonomi yang jadi bangunan bawahnya. Kebudayaan
bergantung kepada ekonomi. Perubahan ekonomi berarti perubahan materi.
Perubahan materi disebabkan oleh perubahan alat-alat produksi. Perubahan
alat-alat produksi melahirkan perubahan kebudayaan. Misalnya kalau orang jadi
miskin (kurang materi) ia terdorong untuk mencuri, menipu atau berbohong untuk
mendapatkan materi. Tetapi kalau ia kaya (banyak materi), ia tidak perlu
mencuri, menipu atau berbohong. Jadi materilah yang menetukan akhlak. Demikianlah
intisari teori materialisme sosiologi, bahwa sosial (masyarakat, kebudayaan)
ditentukan oleh materi.
B. Masalah perubahan ekonomi
Teori materialisme itu merupakan kebenaran fatamorgana. Apabila
sampai ke pangkalnya lenyaplah bayangan kebenaran itu. Teori tersebut berdalil,
keadaan ekonomi berakibat kepada keadaa kebudayaan. Perubahan ekonomi membawa
perubahan kebudayaan. Ekonomi berubah karena alat-alat produksi. Sekarang
timbul pertanyaan, yang merupakan ujian terhadap teori itu. Kenapa terjadi
perubahan alat produksi yang bersifat meterial itu? Jawabannya tentu karena
manusia menemukan konsep baru. Konsep itu bersifat rohaniah, bukan material.
Konsep dilahirkan oleh akal manusia yang rohaniah. Konsep itu ialah kebudayaan.
Dengan demikian pangkal perubahan ekonomi bersumber dalam jiwa manusia. Sebelum
ekonomi mengubah kebudayaaan, adalah ekonomi itu diubah terlebih dahulu oleh
rohani manusia. Dengan demikian urutannya sebagai berikut: perubahan dalam jiwa
(pemikiran dan penghayatan) mengubah materi (ekonomi), perubahan ekonomi
membawa perubahan kebudayaan (cara berfikir dan cara merasa), selanjutnya
terjadi kembali gerak yang serupa (jiwa à materi à
jiwa, jiwa à
materi à
jiwa, dan seterusnya.)[7]
Dalil yang
menjadikan jiwa sebagai sumber perubahan ekonomi, mengingatkan kita kembali
kepada ajaran tentang akal. Akal ialah berpikir dan menghayati, mekanismenya
budi dan kalbu. Kedalam budi Tuhan menurunkan ilham, ke dalam kalbu malaikat
menyampaikan bisikannya pula. Dengan pemikiran budi atas apa yang diterima oleh
kalbu itu lahirlah konsep. Apakah konsep itu benar atau salah bergantung pada
tiga faktor:[8]
·
Apakah
budi dalam pemikirannya memakai ilmu sebagai bahan-bahannya tau tidak,
·
Apakah
kalbu menghayati iman atau tidak,
·
Apakah
aqal itu merasakan naqal atau tidak.
Demikian pula
apakah konsep itu mengandung nilai baik atau tidak bergantung kepada ketiga
faktor tersebut. Bagaimanapun bentuk dan sifat ekonomi yang dibentuk oleh
konsep itu, adalah kebenaran dan kebaikan ekonomi merupakan pancaran daripada
ketiga faktor tersebut.
Dengan demikian,
ekonomi dalam Islam didasarkan kepada kaidah moral, seperti pula dunia Timur
dahulu dan Yunani purba dan kerajaan Romawi.
Dalam perkembangan
kebudayaan Barat kepada ekonomi diberikan kemerdekaan dan kekuasaan sepenuhnya
bagi dirinya sendiri, dibebaskan dari tugas sosial dalam kapitalisme dan
tugas pribadi dalam sosialisme. Di dalam kedua sistem itu, ekonomi
dibebaskan pula dari kawalan akhlak, yang bersumber dari agama.
C. Ekonomi
sebagai ilmu
Adam Smithlah yang
mula-mula mengalihkan ekonomi menjadi ilmu dengan bukunya terkenal : An
Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Buku
ini menekankan konsumsi sebagai tujuan kegiatan ekonomi. Malthus dan Ricardo
serta penulis-penulis Perancis dan Jerman melanjutkan pandangan Adam Smith.
Mereka berusaha mengubah tata ekonomi dan sosial. John Stuart Mill dengan
bukunya Principles of Political Economy (1848) mengemukakan tentang
kebutuhan, persediaan dan kompetisi. Karl Max dengan bukunya Das
Kapital menguraikan teori sosialisme dan beranggapan bahwa hak milik perlu
dimasyarakatkan (disosialisasi) dan ditingkatkan tenaga beli rakyat umum.
Teori-teori baru ekonomi timbul pada tiap perubahan sosial yang penting.
Pertumbuhan industrialisme dan abad mesin mengubah ekonomi secara radikal.[9]
Islam memandang
ekonomi sebagai suatu segi yang tidak boleh dipisahkan dari segi-segi lain
dalam kehidupan pribadi, di samping sebagai suatu segi yang juga tidak boleh
dipisahkan dari segi-segi lain dalam kehidupan masyarakat. Di samping makhluk ekonomi, adalah manusia juga makhluk yang
terikat oleh kekerabatan, makhluk sosial, makhluk rohaniah, makhluk etika,
makhluk estetika, makhluk agama, dan lain-lain. Di samping bidang ekonomi,
kehidupan masyarakat juga meliputi bidang sosial, politik, ilmu dan teknik,
seni, filsafat, dan agama. Dlaam kehidupan pribadi, ekonomi mestilah seimbang
dengan segi-segi kehidupan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat, ekonomi
mestilah pula seimbang dengan bidang-bidang kebudayaan lainnya.
Pelopor pemikiran tentang masalah hubugan
antara agama dan perilaku ekonomi adalah Ibnu Khaldum (1332-1406) dalam
kitabnya yang terkenal muqadimah, dalam abad modern ini orang yang membahas
hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi adalah Max Weber ahli sosiologi
kebangsaan Jerman yang terkenal dengan karyanya dengan judul Die
Protestantische Ethik Und Der Geist des Kapitalismus (1904-1905) Etika Protestan dan semangat Kapitalisme.[10]
Dalam perjalanan sejarah Barat sepuluh abad
yang terakhir, ekonomi dipisahkan dari segi-segi lain kehidupan pribadi, di
samping dipisahkan dari bidang-bidang lain kehiduapn masyarakat. Kepadanya diberikan
kemerdekaan sepenuhnya dan ditumpahkan perhatian dan usaha sepenuhnya, sehingga
ia menguasai segi-segi lain kehidupan pribadi, dan bidang-bidang lain kehidupan
masyarakat. Ekonomi menguasai sosial, etika, estetika, bahkan juga agama.
Nilai-nilai pragmatisma, hedonisma adalah penguasaan ekonomi atas etika dan
estetika. Agama Nasrani yang berdasarkan
cinta-kasih takluk kepada diskriminasi warna kulit, yang berlatarbelakangan
ekonomi. Tujuan ekonomi adalah materi, maka materialisme menguasai kehidupan pribadi
dan masyarakat. Salah satu bentuk pernyataannya adalah teori Marx yang
disinggung diatas.
Manusia terdiri
dari dua substansi: integrasi antara roh dan jasad. Roh yang bersifat gaib,
langsung berasal (ciptaan) dari yang maha kuasa, yakni dihembuskanNya kedalam
jasad dalam proses pertumbuhan janin di dalam rahim ibu. Jasad bersifat
biologi, karena itu bersifat material. Roh karena langsung berasal dari Tuhan
yang bersifat suci, cenderung kepada Ilahi, menghendaki nilai-nilai rohaniah:
nilai kebenaran, nilai etika, nilai estetika sedangkan jasad untuk pertumbuhan
dan merawat kelangsungan hidupnya maka ia memerlukan materi. Manusia yang
terdiri dari dua substansi ini menghendaki dua keperluan, keperluan rohani
terdapat pada agama dan keperluan jasmani dari kebudayaan, terutama dari
ekonomi. Keperluan-keperluan itu adalah harus seimbang sebab menekankan salah
satu dari padanya saja akan merusak kemanusiaan. Dengan diturunkannya Addin
Islam, tuhan menunjukkan bagaimana memenuhi dan menyeimbangkan kedua keperluan
itu.[11]
Dengan ibadah keperluan pertama akan terpenuhi dan dengan mu’amalat maka
keperluan kedua akan terpenuhi pula.
Apabila manusia
dalam kehidupannya tidak memiliki panduan kepada penunjuk jalan (Tuhan), maka
ia akan tergelincir dari keseimbangan, ada yang menekankan rohaniah saja dan
ada pula yang menekankan jasmaniah saja.
D. Pandangan
Islam Tentang Ekonomi
Islam memang memandang penting
ekonomi, tapi bukanlah ia segala-galanya. Ekonomi mengurus kehidupan manusia di
dunia dan Islam diturunkan untuk manusia yang hidup di dunia itu. Tetapi
kepentingan ekonomi sama dengan kepentingan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Ekonomi mengatur kehidupan jasmani, agama perlu mengendalikan ekonomi. Dalam
perbandingan antara dunia dan akhirat, adalah akhirat lebih diberatkan.
Bukankah dunia itu terbatas (hanya sampai maut)? Sesudah itu menyusul akhirat
yang berkekalan? Pantulan dunia adalah akhirat, dan akhiratlah yang memberikan
kata putus tentang salam manusia. Ekonomi dengan materinya tidak akan sampai ke
akhirat, nilai-nilai berekonomi itulah yang mendapat balasan di akhirat. Karena
itu berekonomi mestilah dengan akhlak yang digariskan oleh agama.
Salah satu pandangan tentang Islam dan Ekonomi
oleh Max Weber bahwa Islam pejuang Arab Nasional, adapun tentang Islam saya
kira Weber tidak banyak mengetahui tentang agama Islam itu sendiri, atau dalam kata
lain bahwa Weber terhadap pemikirannya banyak dipengaruhi oleh iklim ilmu
pengetahuan pada masa itu, namun demikian ada beberapa pendapat Weber
sebagaimana diterangkan dalam bukunya The sociology of Religion, terjemahan
Ephraim Fischooff (1965)[12]
yang perlu mendapat perhatian kita.
Weber mengakui bahwa Islam adalah agama
monoteisme yang didasarkan pada ramalan etis yang menolak ilmu gaib. Dengan
menempatakan Allah sebagai yang Maha tahu dan maha kuasa serta nasib manusia
telah ditentukan olehNya, asketisme sebagai jalan keluar terhadap rasa khawatir
sebab tidak memperoleh keselamatan. Menurut Weber bahwa asketisme dihalangi
oleh dua kelompok sosial yang penting: golongan pejuang merupakan pendukun
utama dari sosial Islam dan persaudaraan kaum sufi yang memupuk sikap mistik
dalam beragama. Dalam menyesuaikan al-Qur’an dan Muhammad yang Monoteis dengan
kepentinga sosio ekonomis dari corak hidup para pejuang, hasrat akan
keselamatan ditafsirkan kembali lewat gagasan jihad menjadi hasrat akan daerah
baru. Islam diubah menjadi “agama pejuang Arab Nasional”.[13]
Konsep keselamtan batin tidak pernah berkembang secara penuh. Dan yang lebih
penting adalah pelaksanaan upacara-upacara keagamaan, bukan iman. Islam yang
dulu hanya mempersyaratkan pengakuan ketaatan kepada Tuhan dan RasulNya,
ditambah beberapa perintah yang sifat praktis dan ritual untuk menjadi seorang
Muslim.
Ekonomi membina keberuntungan di dunia. Kalau
ini saja yang dikejar, celakalah manusia di akhirat nanti:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan
Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan
di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat..”.[14]
Tetapi dijelaskan pula dalam ayat diatas bahwa kalau
ekonomi dilaksanakan dengan amal saleh, maka manusia memperoleh dua
keberuntungan, keberuntungan material di dunia dan keberuntungan amal saleh di
akhirat.
Karena keberuntungan untuk masa yang
berkekalan tentu lebih penting dari pada masa yang sementara, maka salam di
akhirat lebih penting dari salam di dunia:
“Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[15]
Kalau sekularisma menumpukkan usahanya
untuk dunia dengan mengabaikan akhirat, adalah Islam menyuruh perimbangan
antara keduanya dalam laku-perbuatan manusia melalui ucapan sahabat[16]:
“Berbuatlah untuk duniamu,
seolah-olah kamu akan hidup abadi dan berbuatlah untuk akhirat kamu seolah-olah
kamu akan mati esok hari.”
Atas
dasar perimbangan dalam berlaku dan berbuat untuk dunia dan akhirat, sambil
memberatkan nasib di akhirat daripada dunia, mengertilah kita kenapa bukan
ekonomi yang menyusupi seluruh kehidupan umat Islam, tapi agama. Karena itu
mengertilah kita kenapa dari 6321 ayat Qur’an hanya 70 ayat disediakan untuk
hukum ekonomi, ditambah denga 10 ayat hukum tentang hubungan kaya dan miskin.
Materialisme, yang merupakan
latar-belakang dari penonjolan ekonomi, ditolak secara mutlak oleh Islam. Alam
memanglah materi, tapi alam itu bukanlah hakikat. Yang menciptakan alam itu
ialah Allah. Allah jadi hakikat dari segala-galanya. Dan dia bukan materi.
Materi itu diciptakanNya lawan materi adalah ruh, maka ia adalah ruhaniah.
Dengan
keyakinan akan Allah maka ateisme menjadi lawan seru dalam Islam.
“Aku
berikrar tidak ada Tuhan selain daripada Allah”.
Dengan demikian jelaslah betapa paham-paham yang ditimbulkan oleh ekonomi secara
langsung atau tidak dalam kebudayaan Barat berlawanan dengan ajaran Islam.
Karena itu kalau umat Islam mengamalkan teori atau semangat ekonomi Barat ini
dalam kehidupannya, terjadi persanggahan antara cara hidup yang dibentuk oleh
teori itu dengan cara hidup yang digariskan oleh Islam. Akibatnya tidak mungkin
ditegakkan masyarakat Islam. Hanya dalam agama mereka Islam tidak dalam
kehidupan sehari-hari. Bentuk demikian telah kita ungkapkan sebagai masyarakat
orang-orang Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat pengertian dan tujuan Islam
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan penyelenggaraan sistem
ekonomi yang sesuai dengan ekonomi itu sendiri, karena ekonomi Islam adalah
ekonomi yang berpihak kepada pengembangan, nasib masyarakat banyak dengan
memupuk kebersamaan dan kekeluargaan.
1. Saling tolong menolong. Azas ini merupakan sesuatu yang
membedakan ekonomi Islam sebagai pelaku ekonomi dalam masyarakat dengan pelaku ekonomi
lainnya. Dalam ajaran Islam tolong menolong merupakan perilaku yang sangat
dianjurkan untuk dilakukan oleh umatnya, firman Allah :
"….Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. " [17]
2. Tanggungjawab. Atas ini mengandung arti bahwa dalam ekonomi Islam terdapat tuntutan bahwa manusia maupun masyarakat dituntut
untuk-bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban sebagai hamba maupun
resiko-resiko dan tanggungan-tanggungan yang diakibatkan oleh usahanya. Segi tanggung jawab dalam ajaran Islam merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan setiap orang. Keadilan dalam bidang ekonomi
merupakan azas dalam ajaran Islam di mana
kesempatan untuk meningkatkan bagi seluruh manusia
yang diatur berdasarkan aturan yang berdasarkan rasa keadilan. Setiap manusia
memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang terhadap ekonomi
serta memiliki kesempatan yang sama pula dalam memanfaatkan ekonomi.
3.
Ekonomis.
Dalam Islam persoalan efisiensi dan efektifitas diukur dalam hubungannya
dengan kesejahteraan manusia.
B. Saran
Seringkali manusia lebih mengutamakan ekonomi dengan membina
keberuntungan di dunia, padahal seharusnya antara ekonomi dan agama haruslah
diseimbangkan. Kalau ekonomi dilaksanakan dengan amal saleh, maka manusia
memperoleh dua keberuntungan, keberuntungan material di dunia dan keberuntungan
amal saleh di akhirat. Karena itu, kita harus melakukan perimbangan antara
keduanya dalam laku-perbuatan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Sjadzali, Munawir. 1995.
Kontekstualisasi
Ajaran Islam. Jakarta Selatan: Paramadina.
Madjid, Nurcholish.
1987. Islam kemodernan dan
KeIndonesiaan, Bandung, Ujungberung: Mizan.
Kuntowijoyo.
2008. Paradigma Islam: Interoretasi untuk Aksi, Bandung, Ujungberung: Mizan.
Gazalba, Sidi. 1978. Asas Kebudayaan Islam Pembahasan
Ilmu dan Filsafat Tentang Ijtihad. Fiqh,
Akhlak. Bidang-bidang Kebudayaan.
Masyarakat. Negara. Jakarta: Bulan Bintang,
Bagus, Lorens. 2000. Kamus
Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[16]
Ungkapan tersebut bukan merupakan hadits Nabi tetapi ucapan seorang sahabat,
yakni Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386.
Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin
Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar