Minggu, 02 Februari 2014

Makalah Ekonomi dan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Naluri asasi manusia menghendaki keselamatan dan kesenangan, diistilahkan oleh Islam dengan salam. Yang dimaksud dengan keselamatan ialah keselamatan hidup, yakni mempertahankan hidup dan melanjutkan hidup. Kesenangan meliputi juga dua aspek, kemakmuran yang bersifat material dan kesejahteraan yang bersifat spiritual.
            Mempertahankan hidup ialah denga jalan merawat jasad, memberikan zat-zat yang diperlukannya untuk tetap berfungsi, seperti makan dan minum, dan memperbaiki kerusakan-kerusakan pada fungsinya, yang disebut pengobatan. Manusia sebagai pribadi suatu ketika akan mati, tapi manusia sebagai umat dilanjutkan kehidupannya dengan melahirkan keturunan. Kelanjutan hidup berlangsung dengan hubungan biologi, yang disebut perkawinan. Naluri manusia menghendaki agar mempertahankan dan melanjutkan hidup itu berlangsung dalam keadaan dan suasana kesenangan, yakni dengan keperluan-keperluan benda yang cukup dan keperluan-keperluan rohaniah yang lengkap pula. Manusia menghendaki kemakmuran, cukup makanan, pakaian, perumahan, pengobatan dan pendidikan untuk memupuk kemampuan seseorang mengusahakan keperluan-keperluan tersebut. Manusia menghendaki pula kesejahteraan, yang diwujudkan oleh nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, dan keindahan.
            Membina keselamatan dan kesenangan itu tidak mungkin diusahakan oleh manusia sendiri-sendiri. Untuk itu mereka perlu bekerja sama yang tepat guna (efektif) dan tepat hasil (efisien) dimungkinkan oleh hidup bersama. Bekerja-sama dan hidup bersama ini membentuk sosial. Sosial membentuk masyarakat. Masyarakat membentuk kebudayaan, dan kebudayaan mengatur masyarakat.[1]
            Betapapun patut diingat disini, bahwa implikasi keagamaan pembangunan keekonomian hanya merupakan sebagian dari konteks yang labih besar: implikasi sosial. “sosial” disisni sebagaimana diterangkan oleh Eugene Staley berarti semua aspek hubungan antar manusia. Selanjutnya dia mengatakan bahwa modernisasi berarti pengubahan hubungan manusia dalam masyarakat. Hal ini merupakan keharusan bagi perubahan-perubahan sosial mendalam sebagai bagian dari modernisasi ekonomi.[2]
            Kegiatan-kegiatan manusia mempertahankan hidup dan usaha-usaha mereka menegakkan kemakmuran membentuk bidang kebudayaan, yang diistilahkan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
1.         Bagaimanakah kebudayaan dan ekonomi?
2.         Apakah masalah dalam perubahan ekonomi?
3.         Bagaimana ekonomi dipandang sebagai ilmu?
4.         Bagaimana pandangan islam tentang ekonomi?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan dan ekonomi
            Montagu memaknakan kebudayaan sebagai jawaban manusia terhadap kebutuhan-kebutuhan asasnya. Kebutuhan asas yang konkrit ialah kebutuhan jasmaniah yang bersifat materi. Lembaga yang bertugas memproduksi (menghasilkan), distribusi (mengedarkan), dan konsumsi (menggunakan) materi itu adalah ekonomi. Tujuan ekonomi ialah kecukupan materi itu, yang disebut kemakmuran.[3]
            Dengan demikian, jelaslah betapa eratnya berkait kebudayaan dan ekonomi. Antara keduanya terjalin hubungan sebab-akibat. Keadaan kebudayaan menetukan keadaan ekonomi, sebaliknya perubahan ekonomi mengubah kebudayaan.

1. Tingkat-tingkat ekonomi[4]
               Proses menggerakkan ekonomi menggerakkan proses perkembangan kebudayaaan, dan sebaliknya. Hal ini diperlihatkan oleh perjalanan sejarah umat manusia. Tahap-tahap perkembangan ekonomi adalah sama dengan tahap-tahap perkembangan kebudayaan.
·  Pada awal sejarah umat manusia ekonomi terdiri dari meramu (mengumpulkan bahan-bahan makanan) dan berburu. Kebudayaan awal itu disebut kebudayaan berburu.
·  Perkembangan pengalaman dan pemikiran mengalihkan berburu kepada beternak. Kebudayaannya disebut kebudayaan beternak.
·  Ketika manusia menemukan hukum alam, bahwa tanah dapat didiktekan untuk menghasilkan bahan-bahan makanan yang diperlukan, lahirlah pertanian sebagai pokok ekonomi. Pertanian menimbulkan revolusi kebudayaan di dalam pra-sejarah. Ia menghentikan kehidupan mengembara sebagai pembawaan ekonomi berburu dan beternak, dengan mengikat manusia kepada tanah yang ditanaminya. Ia terpaksa menunggu hasil tanah  yang dikerjakannya, dan setelah panen, kembali ia mesti menunggu hasil berikutnya. Tumbuhlah desa sebagai pusat kebudayaan tani. Kehidupan yang menetap menyuburkan pertumbuhan kebudayaan, mengarah kepada peradaban. Terjadilah kemajuan yang pesat dalam hubungan dan ikatan kekerabatan, bahasa dan pendidikan, susunan masyarkat, pengetahuan dan ketukangan, kesenian, filsafat, dan agama.
·  Perkembangan kebudayaan pertanian suatu ketika mencapai peradaban. Peradaban atau tamaddun (civilization) ialah tingkat perkembangan kebudayaan yang tinggi segi material dan spiritulnya. Masyarakat telah diorganisasi, diatur oleh pentadbiran (administrasi) dan dikuasai oleh hukum. Tulisan sudah berfungsi. Perkembangan ilmu dan teknik meningkatkan efektivitas dan efisiensi kehidupan masyarakat.
·  Setelah peradaban tercapai terjadi kemajuan ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu eksakta dengan teknologinya, yang mencetuskan revolusi kebudayaan yang kedua dalam sejarah. Ekonomi pertanian meningkat menjadi ekonomi industri, yang berpusat di kota-kota. Peranan utama dalam ekonomi berlalih dari kaum tani kepada kaum buruh. Sampai sekarang dunia maju masih dalam tingat kebudayaan industri yang bertulang-punggungkan ekonomi industri.
               Dalam lintasan sejarah itu jelas kelihatan betapa ekonomi itu mengalami kehidupan kebudayaan dan ekonomi mengurus soal-soal materi.
2. Ekonomi dan materialisme
               Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme.[5]
               Marx berteori bahwa kebudayaan adalah hasil dari keadaan materi. Yang dimaksudkannya dengan kebudayaan ialah musik, seni, etika, agama, ilmu dan filsafat.[6] Kebudayaan (yang bersifat rohaniah) berlawanan dengan ekonomi (yang bersifat lahiriah atau material). Gerak kehidupan berlangsung dengan hubungan sebab-akibat antara materi dan rohani. Kebudayaan merupakan bangunan atas kehidupan, sebagai hasil dari ekonomi yang jadi bangunan bawahnya. Kebudayaan bergantung kepada ekonomi. Perubahan ekonomi berarti perubahan materi. Perubahan materi disebabkan oleh perubahan alat-alat produksi. Perubahan alat-alat produksi melahirkan perubahan kebudayaan. Misalnya kalau orang jadi miskin (kurang materi) ia terdorong untuk mencuri, menipu atau berbohong untuk mendapatkan materi. Tetapi kalau ia kaya (banyak materi), ia tidak perlu mencuri, menipu atau berbohong. Jadi materilah yang menetukan akhlak. Demikianlah intisari teori materialisme sosiologi, bahwa sosial (masyarakat, kebudayaan) ditentukan oleh materi.

B. Masalah perubahan ekonomi
            Teori materialisme itu merupakan kebenaran fatamorgana. Apabila sampai ke pangkalnya lenyaplah bayangan kebenaran itu. Teori tersebut berdalil, keadaan ekonomi berakibat kepada keadaa kebudayaan. Perubahan ekonomi membawa perubahan kebudayaan. Ekonomi berubah karena alat-alat produksi. Sekarang timbul pertanyaan, yang merupakan ujian terhadap teori itu. Kenapa terjadi perubahan alat produksi yang bersifat meterial itu? Jawabannya tentu karena manusia menemukan konsep baru. Konsep itu bersifat rohaniah, bukan material. Konsep dilahirkan oleh akal manusia yang rohaniah. Konsep itu ialah kebudayaan. Dengan demikian pangkal perubahan ekonomi bersumber dalam jiwa manusia. Sebelum ekonomi mengubah kebudayaaan, adalah ekonomi itu diubah terlebih dahulu oleh rohani manusia. Dengan demikian urutannya sebagai berikut: perubahan dalam jiwa (pemikiran dan penghayatan) mengubah materi (ekonomi), perubahan ekonomi membawa perubahan kebudayaan (cara berfikir dan cara merasa), selanjutnya terjadi kembali gerak yang serupa (jiwa à materi à jiwa, jiwa à materi à jiwa, dan seterusnya.)[7]
            Dalil yang menjadikan jiwa sebagai sumber perubahan ekonomi, mengingatkan kita kembali kepada ajaran tentang akal. Akal ialah berpikir dan menghayati, mekanismenya budi dan kalbu. Kedalam budi Tuhan menurunkan ilham, ke dalam kalbu malaikat menyampaikan bisikannya pula. Dengan pemikiran budi atas apa yang diterima oleh kalbu itu lahirlah konsep. Apakah konsep itu benar atau salah bergantung pada tiga faktor:[8]
·                     Apakah budi dalam pemikirannya memakai ilmu sebagai bahan-bahannya tau tidak,
·                     Apakah kalbu menghayati iman atau tidak,
·                     Apakah aqal itu merasakan naqal atau tidak.
            Demikian pula apakah konsep itu mengandung nilai baik atau tidak bergantung kepada ketiga faktor tersebut. Bagaimanapun bentuk dan sifat ekonomi yang dibentuk oleh konsep itu, adalah kebenaran dan kebaikan ekonomi merupakan pancaran daripada ketiga faktor tersebut.
            Dengan demikian, ekonomi dalam Islam didasarkan kepada kaidah moral, seperti pula dunia Timur dahulu dan Yunani purba dan kerajaan Romawi.
            Dalam perkembangan kebudayaan Barat kepada ekonomi diberikan kemerdekaan dan kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya sendiri, dibebaskan dari tugas sosial dalam kapitalisme dan tugas pribadi dalam sosialisme. Di dalam kedua sistem itu, ekonomi dibebaskan pula dari kawalan akhlak, yang bersumber dari agama.
C. Ekonomi sebagai ilmu
            Adam Smithlah yang mula-mula mengalihkan ekonomi menjadi ilmu dengan bukunya terkenal : An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Buku ini menekankan konsumsi sebagai tujuan kegiatan ekonomi. Malthus dan Ricardo serta penulis-penulis Perancis dan Jerman melanjutkan pandangan Adam Smith. Mereka berusaha mengubah tata ekonomi dan sosial. John Stuart Mill dengan bukunya Principles of Political Economy (1848) mengemukakan tentang kebutuhan, persediaan dan kompetisi. Karl Max dengan bukunya Das Kapital menguraikan teori sosialisme dan beranggapan bahwa hak milik perlu dimasyarakatkan (disosialisasi) dan ditingkatkan tenaga beli rakyat umum. Teori-teori baru ekonomi timbul pada tiap perubahan sosial yang penting. Pertumbuhan industrialisme dan abad mesin mengubah ekonomi secara radikal.[9]
            Islam memandang ekonomi sebagai suatu segi yang tidak boleh dipisahkan dari segi-segi lain dalam kehidupan pribadi, di samping sebagai suatu segi yang juga tidak boleh dipisahkan dari segi-segi lain dalam kehidupan masyarakat. Di samping makhluk ekonomi, adalah manusia juga makhluk yang terikat oleh kekerabatan, makhluk sosial, makhluk rohaniah, makhluk etika, makhluk estetika, makhluk agama, dan lain-lain. Di samping bidang ekonomi, kehidupan masyarakat juga meliputi bidang sosial, politik, ilmu dan teknik, seni, filsafat, dan agama. Dlaam kehidupan pribadi, ekonomi mestilah seimbang dengan segi-segi kehidupan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat, ekonomi mestilah pula seimbang dengan bidang-bidang kebudayaan lainnya.
            Pelopor pemikiran tentang masalah hubugan antara agama dan perilaku ekonomi adalah Ibnu Khaldum (1332-1406) dalam kitabnya yang terkenal muqadimah, dalam abad modern ini orang yang membahas hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi adalah Max Weber ahli sosiologi kebangsaan Jerman yang terkenal dengan karyanya dengan judul Die Protestantische Ethik Und Der Geist des Kapitalismus (1904-1905) Etika Protestan dan semangat Kapitalisme.[10]
            Dalam perjalanan sejarah Barat sepuluh abad yang terakhir, ekonomi dipisahkan dari segi-segi lain kehidupan pribadi, di samping dipisahkan dari bidang-bidang lain kehiduapn masyarakat. Kepadanya diberikan kemerdekaan sepenuhnya dan ditumpahkan perhatian dan usaha sepenuhnya, sehingga ia menguasai segi-segi lain kehidupan pribadi, dan bidang-bidang lain kehidupan masyarakat. Ekonomi menguasai sosial, etika, estetika, bahkan juga agama. Nilai-nilai pragmatisma, hedonisma adalah penguasaan ekonomi atas etika dan estetika. Agama Nasrani yang berdasarkan cinta-kasih takluk kepada diskriminasi warna kulit, yang berlatarbelakangan ekonomi. Tujuan ekonomi adalah materi, maka materialisme menguasai kehidupan pribadi dan masyarakat. Salah satu bentuk pernyataannya adalah teori Marx yang disinggung diatas.
            Manusia terdiri dari dua substansi: integrasi antara roh dan jasad. Roh yang bersifat gaib, langsung berasal (ciptaan) dari yang maha kuasa, yakni dihembuskanNya kedalam jasad dalam proses pertumbuhan janin di dalam rahim ibu. Jasad bersifat biologi, karena itu bersifat material. Roh karena langsung berasal dari Tuhan yang bersifat suci, cenderung kepada Ilahi, menghendaki nilai-nilai rohaniah: nilai kebenaran, nilai etika, nilai estetika sedangkan jasad untuk pertumbuhan dan merawat kelangsungan hidupnya maka ia memerlukan materi. Manusia yang terdiri dari dua substansi ini menghendaki dua keperluan, keperluan rohani terdapat pada agama dan keperluan jasmani dari kebudayaan, terutama dari ekonomi. Keperluan-keperluan itu adalah harus seimbang sebab menekankan salah satu dari padanya saja akan merusak kemanusiaan. Dengan diturunkannya Addin Islam, tuhan menunjukkan bagaimana memenuhi dan menyeimbangkan kedua keperluan itu.[11] Dengan ibadah keperluan pertama akan terpenuhi dan dengan mu’amalat maka keperluan kedua akan terpenuhi pula.
            Apabila manusia dalam kehidupannya tidak memiliki panduan kepada penunjuk jalan (Tuhan), maka ia akan tergelincir dari keseimbangan, ada yang menekankan rohaniah saja dan ada pula yang menekankan jasmaniah saja.
D. Pandangan Islam Tentang Ekonomi
            Islam memang memandang penting ekonomi, tapi bukanlah ia segala-galanya. Ekonomi mengurus kehidupan manusia di dunia dan Islam diturunkan untuk manusia yang hidup di dunia itu. Tetapi kepentingan ekonomi sama dengan kepentingan bidang-bidang kehidupan lainnya. Ekonomi mengatur kehidupan jasmani, agama perlu mengendalikan ekonomi. Dalam perbandingan antara dunia dan akhirat, adalah akhirat lebih diberatkan. Bukankah dunia itu terbatas (hanya sampai maut)? Sesudah itu menyusul akhirat yang berkekalan? Pantulan dunia adalah akhirat, dan akhiratlah yang memberikan kata putus tentang salam manusia. Ekonomi dengan materinya tidak akan sampai ke akhirat, nilai-nilai berekonomi itulah yang mendapat balasan di akhirat. Karena itu berekonomi mestilah dengan akhlak yang digariskan oleh agama.
            Salah satu pandangan tentang Islam dan Ekonomi oleh Max Weber bahwa Islam pejuang Arab Nasional, adapun tentang Islam saya kira Weber tidak banyak mengetahui tentang agama Islam itu sendiri, atau dalam kata lain bahwa Weber terhadap pemikirannya banyak dipengaruhi oleh iklim ilmu pengetahuan pada masa itu, namun demikian ada beberapa pendapat Weber sebagaimana diterangkan dalam bukunya The sociology of Religion, terjemahan Ephraim Fischooff (1965)[12] yang perlu mendapat perhatian kita.
            Weber mengakui bahwa Islam adalah agama monoteisme yang didasarkan pada ramalan etis yang menolak ilmu gaib. Dengan menempatakan Allah sebagai yang Maha tahu dan maha kuasa serta nasib manusia telah ditentukan olehNya, asketisme sebagai jalan keluar terhadap rasa khawatir sebab tidak memperoleh keselamatan. Menurut Weber bahwa asketisme dihalangi oleh dua kelompok sosial yang penting: golongan pejuang merupakan pendukun utama dari sosial Islam dan persaudaraan kaum sufi yang memupuk sikap mistik dalam beragama. Dalam menyesuaikan al-Qur’an dan Muhammad yang Monoteis dengan kepentinga sosio ekonomis dari corak hidup para pejuang, hasrat akan keselamatan ditafsirkan kembali lewat gagasan jihad menjadi hasrat akan daerah baru. Islam diubah menjadi “agama pejuang Arab Nasional”.[13] Konsep keselamtan batin tidak pernah berkembang secara penuh. Dan yang lebih penting adalah pelaksanaan upacara-upacara keagamaan, bukan iman. Islam yang dulu hanya mempersyaratkan pengakuan ketaatan kepada Tuhan dan RasulNya, ditambah beberapa perintah yang sifat praktis dan ritual untuk menjadi seorang Muslim.
            Ekonomi membina keberuntungan di dunia. Kalau ini saja yang dikejar, celakalah manusia di akhirat nanti:
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat..”.[14]
            Tetapi dijelaskan pula dalam ayat diatas bahwa kalau ekonomi dilaksanakan dengan amal saleh, maka manusia memperoleh dua keberuntungan, keberuntungan material di dunia dan keberuntungan amal saleh di akhirat.
            Karena keberuntungan untuk masa yang berkekalan tentu lebih penting dari pada masa yang sementara, maka salam di akhirat lebih penting dari salam di dunia:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[15]
            Kalau sekularisma menumpukkan usahanya untuk dunia dengan mengabaikan akhirat, adalah Islam menyuruh perimbangan antara keduanya dalam laku-perbuatan manusia melalui ucapan sahabat[16]:
“Berbuatlah untuk duniamu, seolah-olah kamu akan hidup abadi dan berbuatlah untuk akhirat kamu seolah-olah kamu akan mati esok hari.”
            Atas dasar perimbangan dalam berlaku dan berbuat untuk dunia dan akhirat, sambil memberatkan nasib di akhirat daripada dunia, mengertilah kita kenapa bukan ekonomi yang menyusupi seluruh kehidupan umat Islam, tapi agama. Karena itu mengertilah kita kenapa dari 6321 ayat Qur’an hanya 70 ayat disediakan untuk hukum ekonomi, ditambah denga 10 ayat hukum tentang hubungan kaya dan miskin.
            Materialisme, yang merupakan latar-belakang dari penonjolan ekonomi, ditolak secara mutlak oleh Islam. Alam memanglah materi, tapi alam itu bukanlah hakikat. Yang menciptakan alam itu ialah Allah. Allah jadi hakikat dari segala-galanya. Dan dia bukan materi. Materi itu diciptakanNya lawan materi adalah ruh, maka ia adalah ruhaniah.
Dengan keyakinan akan Allah maka ateisme menjadi lawan seru dalam Islam.
 Aku berikrar tidak ada Tuhan selain daripada Allah”.
            Dengan demikian jelaslah betapa paham-paham yang ditimbulkan oleh ekonomi secara langsung atau tidak dalam kebudayaan Barat berlawanan dengan ajaran Islam. Karena itu kalau umat Islam mengamalkan teori atau semangat ekonomi Barat ini dalam kehidupannya, terjadi persanggahan antara cara hidup yang dibentuk oleh teori itu dengan cara hidup yang digariskan oleh Islam. Akibatnya tidak mungkin ditegakkan masyarakat Islam. Hanya dalam agama mereka Islam tidak dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk demikian telah kita ungkapkan sebagai masyarakat orang-orang Islam.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Melihat pengertian dan tujuan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan penyelenggaraan sistem ekonomi yang sesuai dengan ekonomi itu sendiri, karena ekonomi Islam adalah ekonomi yang berpihak kepada pengembangan, nasib masyarakat banyak dengan memupuk kebersamaan dan kekeluargaan.
1.      Saling tolong menolong. Azas ini merupakan sesuatu yang membedakan ekonomi Islam sebagai pelaku ekonomi dalam masyarakat dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam tolong menolong merupakan perilaku yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh umatnya, firman Allah :
"….Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. " [17]
2.      Tanggungjawab. Atas ini mengandung arti bahwa dalam ekonomi Islam terdapat tuntutan bahwa manusia maupun masyarakat dituntut untuk-bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban sebagai hamba maupun resiko-resiko dan tanggungan-tanggungan yang diakibatkan oleh usahanya. Segi tanggung jawab dalam ajaran Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan setiap orang. Keadilan dalam bidang ekonomi merupakan azas dalam ajaran Islam di mana kesempatan untuk meningkatkan bagi seluruh manusia yang diatur berdasarkan aturan yang berdasarkan rasa keadilan. Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang terhadap ekonomi serta memiliki kesempatan yang sama pula dalam memanfaatkan ekonomi.
3.    Ekonomis. Dalam Islam persoalan efisiensi dan efektifitas diukur dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia.
B. Saran
            Seringkali manusia lebih mengutamakan ekonomi dengan membina keberuntungan di dunia, padahal seharusnya antara ekonomi dan agama haruslah diseimbangkan. Kalau ekonomi dilaksanakan dengan amal saleh, maka manusia memperoleh dua keberuntungan, keberuntungan material di dunia dan keberuntungan amal saleh di akhirat. Karena itu, kita harus melakukan perimbangan antara keduanya dalam laku-perbuatan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Sjadzali, Munawir. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta Selatan: Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 1987. Islam kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung, Ujungberung:           Mizan.
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam: Interoretasi untuk Aksi, Bandung, Ujungberung:    Mizan.            
Gazalba, Sidi. 1978. Asas Kebudayaan Islam Pembahasan Ilmu dan Filsafat Tentang Ijtihad.        Fiqh,    Akhlak. Bidang-bidang Kebudayaan. Masyarakat. Negara. Jakarta: Bulan    Bintang,         
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.



                [1] Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam Pembahasan Ilmu dan Filsafat Tentang Ijtihad. Fiqh, Akhlak. Bidang-bidang Kebudayaan. Masyarakat. Negara. (Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1978) h. 214
                [2] Nurcholish Madjid, Islam kemodernan dan Keindonesiaan, (Cet. I, Bandung, Ujungberung: Mizan, 1987) h. 83
                [3] Op.cit., h. 215
                [4] Ibid., h. 215-216

                [5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat. (Cet. -, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama: 2000) h. 593-600
                [6] Ibid., h. 216
                [7] Ibid.
                [8]Ibid., h. 217
                [9] Ibid., h. 217-218
                [10] Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Cet. I, Jakarta Selatan: Paramadina, 1995) h. 573
                [11] Qur’an Surah Yunus Ayat 101
                [12] Op.cit., h. 580-581
                [13] Ibid., h. 581
                [14] Qur’an Surah As-Syuura Ayat 20
                [15] Qur’an Surah Al-Qashash Ayat 77
                [16] Ungkapan tersebut bukan merupakan hadits Nabi tetapi ucapan seorang sahabat, yakni Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)
                [17] Qur’an Surah. Al-Maidah, Ayat 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar