Manusia dan agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak
dapat dipisahkan. Artinya, keberadaan agama dalam kehidupan manusia pada
hakikatnya membuktikan adanya pengakuan manusia terhadap ada pencipta
(kekuatan) di luar diri manusia. Kekuatan ini bisa jadi manusia menyebutnya
sebagai Sang Yang Widi, Dewa (Dewata Agung), Tuhan, Yesus, Sang Pencipta,
Allah dan sebagainya. Semua istilah ini pada hakikatnya adalah hasil dari
kesepakatan (kebiasaan) bagi manusia tertentu di dalam menyebut “Tuhan”
A. Pengertian Agama Islam
Dalam memahami agama Islam, paling tidak ada dua sisi yang
dapat digunakan untuk memahami pengertiannya yaitu sisi bahasa dan istilah.
Secara etimologis (bahasa), kata “Islam” berasal dari bahasa
Arab dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu
terbentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk
dan patuh. Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut
Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap
patuh pada ajaran-Nya[1]
Selanjutnya, menurut istilah, Islam berarti sebuah agama yang
aturan dan ajarannya menuntun manusia menjadi damai, santun dan beradab
sehingga manusia tersebut pada akhirnya akan memperoleh keselamatan di dunia
dan akhirat.
Agama Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari
Allah SWT. sehingga dapat membedakannya dengan agama-agama lain. Karena itu,
kata Islam langsung diberikan oleh Allah SWT. sebagaimana dijelaskan dalam QS.
Al-Maidah:3
Terjemahannya:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu, dan telah Aku
cukupkan nikmatKu dan Aku rela Islam sebagai agama bagimu.
Berdasarkan ayat di atas menunjukkan bahwa, nama Islam, tidak
diberikan oleh pembawa dari agama tersebut (Nabi Muhammad SAW). Akan tetapi
langsung diberikan nama oleh yang menciptakan agama tersebut yakni Allah SWT,
lain halnya seperti agama Hindu diberi nama oleh pembawa agama tersebut,
Kristen, Budha dan sebagainya.
B. Urgensi (Pentingnya) Agama Bagi Manusia
Paling tidak ada dua alasan mengapa manusia mementingkan
(membutuhkan ) agama, yakni:
Pertama, beragama merupakan fitrah manusia. Fitrah artinya bawaan
sejak lahir (sejak dalam kandungan) yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT.
karena itu secara fitrah, manusia telah memiliki potensi dan kebutuhan
terhadap agama. Sebagaimana firman Allah pada QS. Al-Rum: 30.
Terjemahannya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Menurut para ulama tafsir di antaranya seperti Imam Jalalain
al-Suyuthi bahwa dalam ayat ini Allah mengatakan “maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus” kata “wajah” dalam ayat tersebut mengandung makna “hadapkanlah
hatimu dengan lurus kepada fitrah (naluri kemanusiaan) yang sejak
dalam rahim engkau telah bawa”.
Terkait dengan hal ini dijelaskan pula oleh sebagian ulama
seperti Imam Al-Gazali dan Al-Razi bahwa dalam proses penciptaan manusia, panca
indera yang pertama kali Allah ciptakan ialah “pendengaran”, tepatnya pada usia
kandungan 210 hari (7 bulan) seorang wanita, sebagaimana dijelaskan oleh al-qur’an
sebagai berikut:
Terjemahannya:
Katakanlah, Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dan
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. Tetapi amat sedikit
kamu bersyukur. (QS. Al-Mulk: 23)
Selanjutnya, informasi tentang agama sejak dalam kandungan
telah diperkenalkan oleh Allah kepada manusia dapat dijumpai keterangannya pada
QS. Al-A’raf:172.
Terjemahannya:
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari
sulbi ibu mereka, lalu Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa tersebut, seraya
berfirman: “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka (manusia) menjawab “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi dan kami lakukan yang demikian itu[2]
agar di hari kiamat kelak kami tidak mengatakan “sesungguhnya kami (anak
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap keesaan Tuhan”
Merujuk pada ayat di atas, dalam beberapa keterangan tafsir
seperti Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Kutsar dan sebagainya dijelaskan
bahwa pernyataan Allah pada ayat di atas dengan berkata “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
bermakna “maukah engkau akui Aku adalah Tuhanmu?” Maka manusia di
dalam rahim ibunya tersebut akan menjawab mau dan ada yang tidak mau
sebagaimana dijelaskan dalam QS. Asy-Syam:7-8.
Terjemahannya:
Dan jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan (pelanggaran) dan ketakwaan
(ketundukan).
Dari informasi ayat di atas, maka ini menunjukkan sejak awal
manusia telah memilih jalan yang akan ia lalui, adapun jalan tersebut ada yang
baik dan ada yang tidak baik (membangkang).[3]
Bagi manusia yang tidak mau mengakui Allah sebagai Tuhannya,
maka manusia tersebut pasti akan diwafatkan oleh Allah baik ketika
berada di dalam rahim ibunya atau ketika telah lahir ke bumi sebelum ia akil
baligh. Sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya pada QS. Adzariyat: 56.
Terjemahannya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi (beribadah) kepadaKu.
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Mishbah, pada ayat di atas Allah lebih dulu menyebut Jin dari manusia,
karena memang Jin lebih dulu diciptakan dibanding manusia, sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
Terjemahannya:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari
tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan kami
telah menciptakan
jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (QS. Al-Hijr: 26-27).
Selanjutnya bagi manusia yang mau mengakui Allah SWT. sebagai
Tuhannya, maka Allah tetapkan 4 hal kepadanya, yakni: rezeki, jodoh, nasib
dan ajal. Empat perkara ini biasa dikenal dengan taqdir. Dalam Islam,
taqdir dibagi ke dalam dua macam, yakni:
a.
Taqdir mubram adalah segala ketetapan Allah kepada makhluknya yang telah
terukur, namun tidak mungkin terjadi tanpa ikhtiyar (usaha) dari makhluk
tersebut. Dengan demikian posisi Allah dalam taqdir mubram ialah menyediakan
bukan menentukan. Taqdir yang semacam ini seperti rezeki, jodoh dan nasib.
b.
Taqdir mutlak adalah suatu ketetapan Allah SWT. kepada makhluknya secara
utuh (mutlak atau pasti), yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya dan tidak dapat
diubah kecuali seizinNya. Seperti peristiwa kematian (ajal) atau peredaran
matahari dan bulan mengelilingi bumi yang tak mungkin dapat diubah.
Kedua, manusia memiliki kelemahan dan kekurangan. Artinya oleh karena memiliki
kelemahan dan kekurangan inilah yang kadang kala mendorong manusia melakukan
keburukan, padahal keburukan tersebut bertentangan dengan naluri
kemanusiaannya. Karena itu, agar manusia tersebut mampu mengurangi dirinya
untuk terjebak pada keburukan, maka di sinilah perlunya tuntutan agama; yang
mengajarkan mana yang baik (ma’ruf) dan mana yang buruk (munkar).
[1]
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif (Bandung: 1989), h. 56-57.
[2]Terjemahannya:
Allah memberi rizki sebagaimana firmanNya: Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (QS. Hud: 6),
Allah menyediakan jodoh QS. Yasin: 36; Allah menyediakan nasih Al-Ra’ad: 11 dan
Allah menentukan ajal manusia sebagaimana firmanNya QS. Yunus: 49
terjemahannya: apabila kematian telah tiba maka tidak dapat dimajukan dan
diundur walau sesaat.
[3]Segala
bentuk pembangkangan yang dilakukan oleh makhluk, baik jin maupun manusia
disebut Al-Qur’an dengan istilah al-Syaithan. Kata ini dalam bahasa Arab
berasal dari kata as Syayathi; yang bermakna “jauh”. Artinya setiap
tindakan yang dapat menjauhkan seseorang (kelompok orang) maupun jin dari
kebenaran agama disebut Syaithan. Dengan demikian Syaithan bukanlah makhluk
tapi ia adalah sifat buruk yang dimiliki oleh makhluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar