Minggu, 16 Februari 2014

Hubungan Manusia dan Agama



Manusia dan agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Artinya, keberadaan agama dalam kehidupan manusia pada hakikatnya membuktikan adanya pengakuan manusia terhadap ada pencipta (kekuatan) di luar diri manusia. Kekuatan ini bisa jadi manusia menyebutnya sebagai Sang Yang Widi, Dewa (Dewata Agung), Tuhan, Yesus, Sang Pencipta, Allah dan sebagainya. Semua istilah ini pada hakikatnya adalah hasil dari kesepakatan (kebiasaan) bagi manusia tertentu di dalam menyebut “Tuhan”
A. Pengertian Agama Islam
Dalam memahami agama Islam, paling tidak ada dua sisi yang dapat digunakan untuk memahami pengertiannya yaitu sisi bahasa dan istilah.
Secara etimologis (bahasa), kata “Islam” berasal dari bahasa Arab dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya[1]
Selanjutnya, menurut istilah, Islam berarti sebuah agama yang aturan dan ajarannya menuntun manusia menjadi damai, santun dan beradab sehingga manusia tersebut pada akhirnya akan memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat.
Agama Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah SWT. sehingga dapat membedakannya dengan agama-agama lain. Karena itu, kata Islam langsung diberikan oleh Allah SWT. sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah:3
Terjemahannya:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu dan Aku rela Islam sebagai agama bagimu.
Berdasarkan ayat di atas menunjukkan bahwa, nama Islam, tidak diberikan oleh pembawa dari agama tersebut (Nabi Muhammad SAW). Akan tetapi langsung diberikan nama oleh yang menciptakan agama tersebut yakni Allah SWT, lain halnya seperti agama Hindu diberi nama oleh pembawa agama tersebut, Kristen, Budha dan sebagainya.
B. Urgensi (Pentingnya) Agama Bagi Manusia
Paling tidak ada dua alasan mengapa manusia mementingkan (membutuhkan ) agama, yakni:
Pertama, beragama merupakan fitrah manusia. Fitrah artinya bawaan sejak lahir (sejak dalam kandungan) yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. karena itu secara fitrah, manusia telah memiliki potensi dan kebutuhan terhadap agama. Sebagaimana firman Allah pada QS. Al-Rum: 30.
Terjemahannya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Menurut para ulama tafsir di antaranya seperti Imam Jalalain al-Suyuthi bahwa dalam ayat ini Allah mengatakan “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus” kata “wajah” dalam ayat tersebut mengandung makna “hadapkanlah hatimu dengan lurus kepada fitrah (naluri kemanusiaan) yang sejak dalam rahim engkau telah bawa”.
Terkait dengan hal ini dijelaskan pula oleh sebagian ulama seperti Imam Al-Gazali dan Al-Razi bahwa dalam proses penciptaan manusia, panca indera yang pertama kali Allah ciptakan ialah “pendengaran”, tepatnya pada usia kandungan 210 hari (7 bulan) seorang wanita, sebagaimana dijelaskan oleh al-qur’an sebagai berikut:
Terjemahannya:
Katakanlah, Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur. (QS. Al-Mulk: 23)
Selanjutnya, informasi tentang agama sejak dalam kandungan telah diperkenalkan oleh Allah kepada manusia dapat dijumpai keterangannya pada QS. Al-A’raf:172.
Terjemahannya:
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi ibu mereka, lalu Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa tersebut, seraya berfirman: “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka (manusia) menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi dan kami lakukan yang demikian itu[2] agar di hari kiamat kelak kami tidak mengatakan “sesungguhnya kami (anak Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap keesaan Tuhan”
Merujuk pada ayat di atas, dalam beberapa keterangan tafsir seperti Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Kutsar dan sebagainya dijelaskan bahwa pernyataan Allah pada ayat di atas dengan berkata “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” bermakna “maukah engkau akui Aku adalah Tuhanmu?” Maka manusia di dalam rahim ibunya tersebut akan menjawab mau dan ada yang tidak mau sebagaimana dijelaskan dalam QS. Asy-Syam:7-8.
Terjemahannya:
Dan jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan (pelanggaran) dan ketakwaan (ketundukan).
Dari informasi ayat di atas, maka ini menunjukkan sejak awal manusia telah memilih jalan yang akan ia lalui, adapun jalan tersebut ada yang baik dan ada yang tidak baik (membangkang).[3]
Bagi manusia yang tidak mau mengakui Allah sebagai Tuhannya, maka manusia tersebut pasti akan diwafatkan oleh Allah baik ketika berada di dalam rahim ibunya atau ketika telah lahir ke bumi sebelum ia akil baligh. Sebagaimana dijelaskan dalam firmanNya pada QS. Adzariyat: 56.
Terjemahannya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepadaKu.
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, pada ayat di atas Allah lebih dulu menyebut Jin dari manusia, karena memang Jin lebih dulu diciptakan dibanding manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
Terjemahannya:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (QS. Al-Hijr: 26-27).
Selanjutnya bagi manusia yang mau mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya, maka Allah tetapkan 4 hal kepadanya, yakni: rezeki, jodoh, nasib dan ajal. Empat perkara ini biasa dikenal dengan taqdir. Dalam Islam, taqdir dibagi ke dalam dua macam, yakni:
a.      Taqdir mubram adalah segala ketetapan Allah kepada makhluknya yang telah terukur, namun tidak mungkin terjadi tanpa ikhtiyar (usaha) dari makhluk tersebut. Dengan demikian posisi Allah dalam taqdir mubram ialah menyediakan bukan menentukan. Taqdir yang semacam ini seperti rezeki, jodoh dan nasib.
b.      Taqdir mutlak adalah suatu ketetapan Allah SWT. kepada makhluknya secara utuh (mutlak atau pasti), yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya dan tidak dapat diubah kecuali seizinNya. Seperti peristiwa kematian (ajal) atau peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi yang tak mungkin dapat diubah.
Kedua, manusia memiliki kelemahan dan kekurangan. Artinya oleh karena memiliki kelemahan dan kekurangan inilah yang kadang kala mendorong manusia melakukan keburukan, padahal keburukan tersebut bertentangan dengan naluri kemanusiaannya. Karena itu, agar manusia tersebut mampu mengurangi dirinya untuk terjebak pada keburukan, maka di sinilah perlunya tuntutan agama; yang mengajarkan mana yang baik (ma’ruf) dan mana yang buruk (munkar).


[1] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif (Bandung: 1989), h. 56-57.
[2]Terjemahannya: Allah memberi rizki sebagaimana firmanNya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (QS. Hud: 6), Allah menyediakan jodoh QS. Yasin: 36; Allah menyediakan nasih Al-Ra’ad: 11 dan Allah menentukan ajal manusia sebagaimana firmanNya QS. Yunus: 49 terjemahannya: apabila kematian telah tiba maka tidak dapat dimajukan dan diundur walau sesaat.
[3]Segala bentuk pembangkangan yang dilakukan oleh makhluk, baik jin maupun manusia disebut Al-Qur’an dengan istilah al-Syaithan. Kata ini dalam bahasa Arab berasal dari kata as Syayathi; yang bermakna “jauh”. Artinya setiap tindakan yang dapat menjauhkan seseorang (kelompok orang) maupun jin dari kebenaran agama disebut Syaithan. Dengan demikian Syaithan bukanlah makhluk tapi ia adalah sifat buruk yang dimiliki oleh makhluk.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar